JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji formil sekaligus materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang diajukan oleh Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua dan kawan-kawan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 25/PUU-XX/2022 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan yang digelar pada Rabu (20/7/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Dalam Provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar yang disaksikan secara langsung oleh para pihak yang beperkara secara daring.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan mendalilkan tahapan pembentukan UU IKN dilakukan dengan pola fast track legislation yang tergambarkan dalam tabel yang dapat diakses pada laman https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368. Menurut para Pemohon, tahapan pembentukan UU 3/2022 dari sejak tanggal 3 November 2021 sampai dengan 18 Januari 2022 hanya memakan waktu 42 hari. Para Pemohon beralasan tahapan tersebut tergolong sangat cepat untuk pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN yang sangat strategis dan berdampak luas dan tidak memperhatikan partisipasi publik yang bermakna sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Selain itu, menurut Pemohon, pembahasan UU 3/2022 yang menggunakan pola fast track legislation, menambah panjang daftar UU yang dibuat dengan cara cepat oleh Pemerintah. Lebih lanjut menurut para Pemohon, pola fast track legislation berimplikasi pada tidak terwujudnya proses deliberatif dalam pembentukan undang-undang sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan terlepas dari tidak adanya bukti relevan yang diajukan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah proses pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari cepat atau lambatnya pembahasan. Akan tetapi, proses pembentukan undang-undang wajib mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 dan perubahannya yang meliputi proses dalam tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Menurut Mahkamah, lanjut Enny, sepanjang semua proses dalam tahapan tersebut telah terpenuhi dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian oleh pembentuk undang-undang, maka terkait dengan waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan seperti cepat atau fast track legislation merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk menyelesaikan undang-undang pada umumnya—termasuk dalam hal ini UU IKN, yaitu sejak suatu RUU diusulkan masuk dalam Prolegnas jangka menengah. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, terkait dengan tahapan waktu pembentukan sebuah undang-undang, UU 12/2011 dan perubahannya sampai saat ini tidak memberikan ketentuan yang definitif kapan suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas akan diselesaikan.
“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai digunakannya pola fast track legislation dalam pembentukan UU 3/2022 sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Enny.
Baca Juga: Poros Nasional Kedaulatan Negara Uji UU IKN
Terbuka
Dalam permohonannya, para Pemohon juga mendalilkan pembentukan UU IKN telah bertentangan dengan asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011. Hal tersebut menurut para Pemohon, dibuktikan dengan adanya 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, namun hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses. Sedangkan 21 agenda lainnya informasi dan dokumennya tidak dapat diakses publik sehingga representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik.
Menanggapi dalil tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mendasarkan pada fakta-fakta hukum di persidangan, Pemerintah dan DPR membuktikan telah melakukan berbagai kegiatan untuk menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik dari tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, pakar hukum tata negara, dan kelompok masyarakat adat. Terkait dengan adanya berbagai kegiatan tersebut, Mahkamah tidak menemukan fakta hukum bahwa para Pemohon berupaya untuk melibatkan diri dan/atau terlibat secara pro-aktif dan responsif dalam memberikan masukan terhadap proses pembentukan UU IKN. Hal demikian sebenarnya para pemangku kepentingan—termasuk para Pemohon—tetap dapat bertindak dan bersikap pro-aktif untuk berperan serta sebagai bagian dari upaya mewujudkan partisipasi masyarakat meski tanpa diundang.
“Terlepas dari ada atau tidaknya fakta para Pemohon untuk terlibat aktif memberikan masukan perihal pembentukan UU 3/2022, Mahkamah juga tidak menemukan adanya rangkaian bukti lain dari para Pemohon yang dapat membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah benar-benar berupaya menutup diri atau tidak terbuka kepada publik terkait dengan pembentukan UU 3/2022,” papar Arief.
Baca Juga: Poros Nasional Kedaulatan Negara Tambah 12 Pemohon Uji UU IKN
Berkenaan dengan 2 (dua) alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah menilai keduanya tidak cukup membuktikan adanya tendensi bahwa Pemerintah dan DPR telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011. Alat bukti tersebut, yakni tangkapan layar laman Rekam Jejak Pembentukan UU 3/2022 di website DPR RI dan bukti Surat Permohonan Data/Berkas bertanggal 9 Mei 2022 tentang pembentukan UU IKN ke Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Hukum dan HAM dan DPR RI melalui sekretaris Jenderal DPR RI.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar asas keterbukaan adalah tidak beralasan menurut menurut hukum,” ujar Arief.
Baca juga: Bambang Brodjonegoro Sebut Perpindahan Ibu Kota Telah Melalui Kajian yang Komprehensif
Pengujian Formil Tidak Beralasan
Dalam pengujian formil terhadap UU IKN, para Pemohon menjadikan alasan permohonan provisi sebagai uji formil. Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pertimbangan hukum menyebut para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang memohon kepada Mahkamah untuk menjatuhkan Putusan Sela dengan memerintahkan kepada Pemerintah untuk menunda segala tindakan/kebijakan dan menunda penerbitan segala aturan turunan—in casu Peraturan Pelaksana UU IKN—sampai dengan adanya putusan akhir terhadap pokok permohonan a quo, dengan alasan menurut para Pemohon untuk menghindari terjadinya dampak yang lebih besar, dan agar tetap terwujudnya perlindungan kepastian hukum atas hak-hak para Pemohon yang dilanggar dalam proses pembentukan UU IKN.
Saldi melanjutkan, Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengujian undang-undang bukanlah bersifat adversarial. Selain itu, pengujian undang-undang bukan merupakan perkara yang bersifat interpartes atau bukan merupakan sengketa kepentingan para pihak, melainkan menguji keberlakuan suatu undang-undang yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, terhadap permohonan provisi a quo, haruslah dipertimbangkan secara tersendiri dan kasuistis sepanjang hal tersebut relevan dan mendesak untuk dilakukan.
“Namun, setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon lebih berkaitan erat dengan materi muatan UU 3/2022 sehingga tidak tepat apabila dijadikan sebagai alasan permohonan provisi dalam pengujian formil. Terlebih lagi, Mahkamah tidak menemukan adanya alasan yang kuat untuk menunda keberlakuan UU a quo. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Saldi.
Baca juga: Suharso Monoarfa Jelaskan Visi dan Misi IKN sebagai Kota Dunia
Sebelumnya, Para Pemohon yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dirugikan secara potensial dalam apabila diberlakukan UU IKN. Permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Abdullah Hehamahua (Pemohon I), Marwan Batubara (Pemohon II), Muhyidin Junaidi, (Pemohon III), dll.
Dalam permohonannya, Para Pemohon menyebut tidak dapat memberikan pendapat, masukan, saran dan kritik dalam pembentukan UU IKN, dengan proses pembentukan UU IKN yang hanya memerlukan waktu 42 (empat puluh dua) hari dan terlihat terburu-buru, sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di lapangan. Menurut para Pemohon, pengujian formil IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 yang merupakan pendelegasian norma kepada ketentuan tersebut dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 6 huruf a, huruf e, huruf s, huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.