JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (18/7/2022). Panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta kuasa hukum para Pemohon, Anwar Rachman menyampaikan perbaikan permohonan.
Anwar menegaskan, para Pemohon dan pokok permohonan tidak mengalami perubahan. Namun di petitum, ada perbaikan. Para Pemohon dalam petitum meminta kepada Mahkamah agar menyatakan pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Para Pemohon tidak ada perubahan. Pokok permohonan juga tetap sesuai dengan surat kuasa yaitu Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 29 ayat (1), Pasal 33, Pasal 42 ayat (1), Pasal 48 Undang-Undang Jaminan Produk Halal,” ujar Anwar.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Sertifikat Produk Halal
Sebagai informasi, Permohonan Nomor 67/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) diajukan oleh Ainur Rofiq, Achmad Mutohar, dan Muhamad Yusuf (Pemohon I); Mohamad Dahlan Moga, Oheo Kaimuddin Haris, Safril Sofwan Sanib (Pemohon II); Khoirul Umam dan Laily Irmayanti (Pemohon III) serta 20 Pemohon lainnya.
Sejumlah pasal diuji oleh para Pemohon, antara lain Pasal 5 ayat (3) UU JPH, yang menyatakan, “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.” Yang dimaksud menteri dalam hal ini adalah Menteri Agama Republik Indonesia.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK secara daring pada Selasa (5/7/2022), para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Anwar Rachman, mendalilkan bahwa Berlakunya UU JPH juncto UU Cipta Kerja menimbulkan potensi produk halal yang beredar di masyarakat diragukan kehalalannya, karena sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga yang secara hukum tidak berwenang untuk menerbitkan sertifikat halal, menetapkan kehalalan produk dan tidak pernah memeriksa dan menguji kehalalan produk dimaksud serta tanpa fatwa halal dari lembaga yang mempunyai kompetensi menyatakan kehalalan secara syar’i yakni Majelis Ulama Indonesia.
“Dampak sampingan yang ditimbukannya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sertifikat halal sehingga masyakarat abai terhadap kehalalan produk serta membanjirnya produk-produk impor yang dapat mematikan usaha mikro kecil,” jelas Anwar.
Masih menurut para Pemohon, diberlakukannya UU JPH juncto UU Cipta Kerja akan menimbulkan potensi terjadinya intervensi politik karena Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tidak profesional dan tidak independen karena BPJPH secara struktural di bawah Kementerian Agama dan jabatan Menteri Agama adalah jabatan politik. Hal ini berakibat produk Indonesia akan tertolak di luar negeri. Selain itu, dapat mengganggu kelangsungan kehidupan masyarakat yang selama ini telah hidup dengan baik dan tentram terutama pelaku usaha mikro, kecil dan menengah akan terancam gulung tikar karena banjirnya produk dari produsen besar dan juga produk-produk dari luar negeri.
Menurut para Pemohon, keberadaan UU JPH juncto UU Cipta Kerja lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Oleh karena itu, para Pemohon meminta kepada MK agar mencabut dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pasal-pasal yang diujikan, yaitu Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 UU JPH, Pasal 29 ayat (1) UU JPH Jo Pasal 29 ayat (1) UU Cipta Kerja, Pasal 35 UU JPH, Pasal 42 ayat (1) UU JPH Jo Pasal 42 ayat (1) UU Cipta Kerja, serta Pasal 48 UU JPH Jo Pasal 48 UU Cipta Kerja.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.