MEDAN, HUMAS MKRI - Indonesia tidak dikelola secara sekuler atau Islam, tetapi dikelola dengan menyinergikan nilai agama dan kepercayaan yang dianut seluruh penduduknya. Hal ini tertuang dalam ideologi bangsa yakni Pancasila, utamanya sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Indonesia memaknai kepercayaan dan keyakinan tersebut sebagai perekat dari kokohnya konsep kehidupan berbangsa dan bernegara yang heterogen. Demikian kalimat pembuka yang disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam kuliah umum yang diselenggarakan atas kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Fakultas Hukum Universitas Medan Area (UMA) pada Sabtu (16/7/2022).
Kuliah umum bertema “Urgensi Pancasila Dalam Mengantisipasi Post-Truth Di Era Digital” yang dilaksanakan di Conference Room Lt. III Gedung Rektorat Kampus 1 UMA ini dihadiri Rizkan Zulyadi dan Nanang Tomi Sitorus selaku Wakil Rektor Bidang Inovasi, Kemahasiswaan. Hadir pula M. Citra Ramadhan selaku Dekan Fakultas Hukum UMA, Anggreni Atmei Lubis selaku Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, serta dihadiri para Alumni UMA.
Lebih jauh Arief menganalogikan pentingnya penanaman Pancasila dalam era digital ini dengan menarik kembali sejarah awal pendirian bangsa Indonesia oleh para pendiri bangsa. Arief mencermati bahwa upaya yang dilakukan pendiri bangsa dalam perumusan dasar negara dan ideologi bangsa tersebut sejatinya telah tercermin secara jelas dari Pembukaan UUD 1945. Untuk itu, penting pula bagi generasi muda untuk membaca dan memahami dengan baik risalah pembentukan UUD 1945. Hal ini dinilai perlu agar penanaman nilai perbedaan yang ada dalam bangsa Indonesia dapat menjadi kerangka berpikir bersama untuk mengutamakan musyawarah dan mementingkan keutuhan bangsa.
“Mari pelajari dan hayati suasana kebatinan yang telah dilakukan pendiri bangsa dalam menjalankan tata cara bernegara dengan baik melalui pembentukan dasar negara. Dalam era digital ini khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum UMA agar dapat mencermati tujuan negara dari konstitusi tersebut. ikut sertalah melaksanakan ketertiban dengan kemerdekaan dan perdamaian abadi sehingga ruang pandang menjadi luas dalam memaknai betapa besarnya nilai-nilai ideologi bangsa dan dasar negara sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Arief yang hadir dalam kegiatan ini dengan didampingi oleh Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono.
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Pada kuliah umum ini, Arief juga mengulas Pembukaan UUD 1945, khususnya Alinea Ketiga. Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lepas dari berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang diiringi oleh semangat pendiri bangsa dalam membangun tujuan, visi, dan misi negara. Untuk itulah dasar negara Pancasila dijadikan sebagai landasan aspek kehidupan bangsa, mulai dari aspek hukum, sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Dalam membuat dan menegakkan hukum misalnya, Arief menekankan keberadaan nilai Pancasila menjadi dasar untuk meramu konsep berhukum termasuk di Mahkamah Konstitusi. Cerminan tersebut terlihat dari kata pertama yang ada pada lembar Putusan MK yakni “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara …”. Sehingga dalam menjalankan peran hukum di peradilan, para hakim konstitusi tidak dibenarkan mempermainkan hukum karena di dalamnya ada pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Bijak Bermedia Sosial
Sehubungan dengan pengaruh era digital bagi keutuhan bangsa Indonesia, Arief mengajak para generasi untuk menarasikan persatuan, keadilan, dan hal-hal baik dari nilai-nilai Pancasila pada jejaring sosial yang berkembang saat ini. Sehingga perkembangan media sosial yang telah menguasai hajat hidup orang banyak tersebut tetap dapat dijadikan sarana bagi kesejahteraan dan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ayo lakukan check and recheck dulu informasi yang diterima. Semua informasi yang tersaji di media sosial itu dipastikan dulu sumber dan kebenaran sumbernya. Jangan sampai hal yang diteruskan dari informasi tersebut justru berupa hoaks dan hal yang merusak,” sampai Arief.
Usai pemaparan materi, para peserta kuliah umum dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan, masukan, dan sanggahan. Salah satunya pertanyaan dari Dharma Putra Nasution tentang asas ius curia novit yang berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan padanya termasuk pula mengujikan tentang keberadaan lembanganya (dalam hal ini MK menguji dan mengadili perkara UU MK).
Menjawab pertanyaan ini, Arief memberikan contoh pengujian UU MK yang beberapa waktu lalu. Arief menjelaskan apabila hakim konstitusi tidak mengadili UU MK, maka hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan besar atas pihak yang pada akhirnya dapat mengadilinya. Untuk lebih konkretnya, Arief kemudian meminta agar penanya membaca dengan saksama Putusan MK yang telah diputus tentang UU MK.
“Di dalamnya dapat terlihat pandangan-pandangan para hakim yang dapat juga dianalisis oleh penanya dan mahasiswa hukum untuk menjadi kajian lebih lanjut dengan berbagai kondisi. Baru ini MK dan hakim-hakimnya memberikan pandangan atas normanya sendiri. Hal ini sangat menarik untuk dikaji oleh para mahasiswa di sini juga sehingga dapat memahami dan bisa juga menemukan rumusan hukum yang dihasilkan oleh para negarawan yang ada di MK,” jawab Arief.
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: Nur R.