JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketentuan Pasal 54 KUHAP merupakan bentuk jaminan pemberian hak dari undang‑undang untuk tersangka dan terdakwa mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum. “Ketentuan dalam Undang‑Undang HAP telah memberikan batasan yang tegas antara definisi saksi,” kata Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan saat menyampaikan keterangan dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada Kamis (14/7/2022) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring.
Dalam sidang tersebut, Arteria menyampaikan ketentuan Pasal 54 KUHAP tidak menghalangi Para Pemohon dalam menjalani profesinya untuk memberikan bantuan hukum sebelum pemeriksaan terhadap saksi dimulai. Kemudian jika di kemudian hari saksi ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa, Para Pemohon dapat turut serta untuk mendampingi, memberikan bantuan hukum sebagaimana hak dan kewajiban seorang advokat atau penasihat hukum, dan hak para tersangka dan/atau terdakwa.
“Sehingga ketentuan pasal a quo tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945,” lanjut Arteria.
Terkait dengan bantuan hukum oleh advokat atau penasihat hukum bersifat terbatas, Arteria mengatakan saksi hanya didampingi sebelum pemeriksaan dimulai, sudah sejalan dengan konsep dari criminal justice system bahwa saksi diposisikan sebagai alat bukti untuk mencari kebenaran substantif. “Hal tersebut bertujuan untuk menemukan fakta-fakta terkait dengan penyidikan, dimana ketika saksi memberikan keterangan yang tidak sesuai pun, memiliki konsekuensi dapat dijatuhi sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 242 KUHP yang pada intinya mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang memberikan sumpah palsu dan/atau keterangan palsu. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami jika saksi merupakan pihak yang belum disangkakan sebagai pelaku tindak pidana, sehingga dalam penanganannya tentu sangat diharuskan untuk menerapkan prinsip presumption of innocence dan menegakkan prinsip equality before the law,” ujar Arteria secara daring.
Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut, Arteria menyebut pemeriksaan saksi harus sesuai dengan prosedur yang semestinya, tanpa adanya hak saksi yang dilanggar. Dengan demikian, Para Pemohon tidak perlu khawatir saksi akan diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.
Lebih lanjut Arteria mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, pada intinya juga memberikan kewenangan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai organ negara untuk memberikan pendampingan bagi pihak saksi atau korban pada semua tahap proses peradilan pidana. Hal ini merupakan suatu upaya dari pembentuk undang-undang untuk memberikan rasa aman bagi setiap orang yang menjadi saksi atau korban dalam peradilan pidana. Namun perlindungan yang diberikan oleh LPSK adalah sebatas pada perlindungan hukum, tetapi tidak untuk kepentingan pembelaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 undang-undang a quo.
“Terhadap kewajiban pendampingan advokat penasihat hukum dalam pemeriksaan saksi yang dimintakan oleh Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi,” papar Arteria.
Penerapan Pasal KUHAP
Pada kesempatan yang sama, Karobankum Divkum Kepolisian RI Imam Sayuti menyampaikan, Para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional atas penerapan Pasal 54 KUHAP. Atas dasar tidak adanya kerugian bersifat spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi, tidak adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji, dan kerugian yang timbul hanya berkenaan dengan dugaan kesalahan dalam implementasi norma, maka Polri memohon kepada MK untuk menyatakan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materiil pasal dalam KUHAP.
“Namun demikian, Polri menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai, apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak atas berlakunya ketentuan Pasal 54 KUHAP,” tegas Imam.
Imam menyebut, penerapan Pasal 54 KUHAP pada proses penyidikan akan bermuara pada proses selanjutnya, yaitu tahapan persidangan, dimana tuntutan pidana dan pembelaan merupakan suatu rangkaian dan berkaitan erat. Oleh karenanya, akan terdapat perbedaan konteks yang mendasar apabila diperlukannya pendampingan atas saksi pada proses penyidikan.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 26 KUHAP menyebutkan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Bahwa keberadaan saksi pada proses penyidikan adalah dalam rangka pemenuhan kecukupan alat bukti berdasarkan ketentuan Pasal 184 KUHAP untuk dapatnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan hal tersebut sejalan pula dengan pengertian penyidikan berdasarkan ketentuan KUHAP,” terang Imam Sayuti.
Pendampingan Saksi
Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengatakan kedudukan saksi di mata hukum tidak mengandung ancaman sedikit pun sepanjang saksi dalam pelaksanaan tanggung jawabnya memenuhi kewajiban menyampaikan keterangan dengan jujur dan benar. Dalam kedudukan yang demikian inilah, sebenarnya saksi secara formil dan materiil tidak dalam kapasitas yang berhadapan hukum. Bahkan saksi sebagai pihak yang berkedudukan atas nama hukum yang akan membuat terang suatu peristiwa, saksi dalam hal ini bertindak bukan hanya atas nama negara melainkan bertindak atas nama kebenaran dan keadilan itu sendiri yang menghendaki kejujuran saksi. Dalam kapasitas yang demikian inilah, maka sebenarnya saksi tidak memerlukan pendampingan oleh pihak mana pun, tidak terkecuali oleh penasihat hukum. Saksi harus dibiarkan bebas dari pengaruh atau intervensi dari pihak mana pun untuk mengatakan apa yang sebenarnya dialami, lihat, dan dengar sendiri.
“Dalam hal inilah, maka saksi sebenarnya tidak memerlukan nasihat atau pendampingan dari siapa pun. Nasihat yang diperlukan saksi sebenarnya hanya untuk mengatakan apa yang sebenarnya saksi dengar, lihat, dan alami sendiri. Nasihat di luar hal tersebut kiranya malah dapat mengaburkan apa yang akan diterangkan saksi karena saksi dapat menjadi bingung tentang apa yang mau disampaikan sebagai akibat masukan yang diberikan,” terangnya.
Menurutnya, dalil Pemohon yang mencoba memperluas pemaknaan Pasal 54 KUHAP bahwa seharusnya menyangkut saksi dengan memakai dalil bahwa Pasal 54 KUHAP tersebut multitafsir, kiranya tidak beralasan atas hukum. Kepentingan pembelaan yang terdapat dalam Pasal 54 KUHAP merupakan upaya yang dilakukan oleh penasihat hukum untuk kepentingan tersangka dan terdakwa. Kepentingan pembelaan tersebut juga disebutkan dalam beberapa Pasal di KUHAP, yakni pada Pasal 51, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71, Pasal 182 ayat (1) huruf b, Pasal 203 ayat (3) huruf c. Oleh karenanya, pendampingan penasihat hukum dalam Pasal 54 KUHAP tidak serta-merta dapat diperluas kepada saksi karena diksi kepentingan pembelaan juga diatur dalam beberapa pasal tersebut yang hanya berkorelasi dengan tersangka dan terdakwa, namun bukan kepada saksi.
Selain itu, ia menegaskan, praktik pendampingan oleh penasihat hukum hanya diberikan kepada tersangka dan terdakwa juga diberlakukan oleh negara-negara lain di dunia. Hal ini dikarenakan instrumen hukum internasional memang mengatur demikian. Termasuk dalam hal ini, hukum pidana nasional negara-negara lain juga memberikan pembatasan bahwa pendampingan oleh penasihat hukum hanya diberikan kepada tersangka maupun terdakwa.
Baca juga:
Dianggap Halangi Profesi Advokat, KUHAP Diuji
Para Pemohon Uji KUHAP Perbaiki Judul Permohonan
KUHAP Jamin Hak Tersangka dan Terdakwa
Sebagai informasi, permohonan Nomor 61/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil KUHAP ini diajukan oleh Octolin H Hutagalung dan sebelas Pemohon lainnya. Para Pemohon yang berprofesi sebagai advokat menguji Pasal 54 KUHAP yang berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Para Pemohon beranggapan bahwa dalam proses perkara pidana, advokat sering dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang, baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka maupun terdakwa. Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesinya, mengingat tidak adanya ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 KUHAP Konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.