JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang pengucapan Putusan Nomor 37/PUU-XX/2022 yang diajukan A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Menasye Asso, Yohanes G Raubaba, dan Prillia Yustiati Uruwaya, digelar di MK pada Kamis (7/7/2022) secara daring.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (9) beserta Penjelasannya dan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil sehingga permohonan tersebut harus dinyatakan kabur.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah mengutip pertimbangan Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan MK Nomor 15/PUUXX/2022, dan Putusan MK Nomor 18/PUU-XX/2022 yang telah cukup jelas menjawab isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon.
Menurut Mahkamah, para Pemohon seharusnya bisa memahami secara utuh ketiga putusan MK tersebut sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para Pemohon akibat penunjukan penjabat Kepala Daerah, tidaklah akan terjadi. Sebab, pada prinsipnya Mahkamah telah memberikan guidelines terkait mekanisme dan prosedur penunjukan Kepala Daerah yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah tersebut, sambung Arief, substansi norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 justru untuk memberikan kepastian hukum dalam hal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Maka, dalam masa peralihan, sebagaimana salah satu substansi dalam putusan-putusan tersebut menegaskan perihal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah.
“Sementara berkenaan dengan pengisian Penjabat Kepala Daerah pada masa peralihan (transisi) menuju penyelenggaraan Pilkada Serentak Nasional 2024, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, Mahkamah telah menegaskan beberapa hal mendasar yang harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengisian penjabat kepala daerah. Hal tersebut harus dituangkan Pemerintah dengan menerbitkan peraturan pelaksana sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum lainnya.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, putusan-putusan tersebut telah mempertimbangkan secara komprehensif konstitusionalitas ketentuan peralihan menuju Pilkada Serentak Secara Nasional Tahun 2024. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
Saldi selanjutnya membacakan pendapat Mahkamah soal petitum. Mahkamah menilai petitum para Pemohon saling bertentangan. Di satu sisi para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menyatakan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945. Sementara di sisi lain para Pemohon menghendaki Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada dan Penjelasannya dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Petitum demikian hanya dapat dibenarkan jika dibuat atau diformulasikan secara alternatif. Tidak hanya terhadap Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, petitum yang saling bertentangan juga terjadi dalam permohonan terhadap Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016. Dengan penyusunan petitum demikian, permohonan tidak memenuhi syarat formil permohonan,” jelas Saldi.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Pengisian Penjabat Kepala Daerah Sementara dalam UU Pilkada
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.