JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji materiil aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/7/2022) siang. Dalam Putusan Nomor 52/PUU-XX/2022 tersebut, Mahkamah mengeluarkan dua amar, yakni tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai Pemohon I dan menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai Pemohon II tersebut. “Mengadili; menyatakan permohonan Pemohon I (DPD) tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon II (PBB) untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Wakil Ketua MK Aswanto menyebutkan setelah Mahkamah mempelajari dalil-dalil permohonan Pemohon II, Mahkamah menilai argumentasi tersebut didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif, seperti oligarki dan polarisasi masyarakat akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu. Terhadap hal tersebut, sambung Aswanto, Mahkamah berpendapat hal demikian tidak beralasan menurut hukum karena tidak terdapat jaminan dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik berbagai ekses tersebut tidak akan terjadi lagi.
Ditambah lagi setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional. Sementara terkait dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold, merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian Mahkamah tersebut, jelas Aswanto, berpijak pada pentingnya penguatan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif.
Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial
Aswanto melanjutnya bahwa dalam pandangan Mahkamah, pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial, tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR. Sehingga mendorong efektivitas proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka check and balances secara proporsional. Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara dan hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Oleh karenanya meskipun terdapat perbedaan antara dalil permohonan Pemohon II dengan permohonan-permohonan sebelumnya, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon II tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta halhal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya,“ ucap Aswanto.
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon menyebutkan Pasal 222 UU Pemilu tersebut telah menghilangkan probabilitas partai politik. Untuk itu, dalam petitumnya para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tidak Memiliki Kedudukan Hukum
Sementara terkait dengan Pemohon I, Mahkamah sebagaimana pernyataan dalam Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021 telah menegaskan pendirian terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Sebab kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu tersebut sejalan dengan amanat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Di samping itu, Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 juga secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh MPR. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah, pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu hanyalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
“Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Maka, penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945,” ucap Aswanto.
Sebelumnya, DPD sebagai Pemohon I menilai pasal a quo yang mengatur ketentuan presidential threshold sebesar 20% kursi DPR RI atau 25% suara sah nasional, telah menghalangi hak serta kewajiban Pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden. Kehadiran ketentuan ini, sambungnya, hanya memberikan akses khusus kepada elite politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang kematangan kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu. Untuk itu, dalam petitumnya para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana