JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohohonan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Sidang Putusan Nomor 33/PUU-XX/2022 ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Kamis (7/7/2022). Melalui pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan, meskipun UU SJSN tidak secara tegas mengakomodir permasalahan yang berpotensi merugikan peserta Jaminan Hari Tua (JHT) yang mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), namun persoalan tersebut telah terakomodir dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, bertanggal 26 April 2022.
Lebih lanjut Suhartoyo menyebutkan ketentuan tersebut telah tertuang dalam Pasal 4 junctis Pasal 5 UU SJSN yang pada intinya menyebutkan tentang ketentuan manfaat JHT yang dapat diterima oleh peserta yang telah membayarkan sejumlah iuran, baik untuk peserta yang mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Sementara pada Pasal 8 UU SJSN yang memuat tentang manfaat JHT bagi peserta yang mengundurkan diri; dan pada Pasal 9 UU SJSN memuat mekanisme pengajuan pembayaran manfaat JHT bagi Peserta yang mengundurkan diri. Oleh karena itu, sambung Suhartoyo, ketentuan tersebut menunjukkan Pemerintah telah memaknai istilah “pensiun” dalam UU SJSN tersebut meliputi pula seseorang “yang berhenti bekerja”. Sehingga konsep peserta BPJS Ketenagakerjaan yang pensiun meliputi juga peserta BPJS Ketenagakerjaan yang berhenti bekerja, meliputi peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja, atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
“Dengan adanya pengaturan yang demikian, maka permasalahan yang dihadapi Pemohon dalam perkara a quo, secara normatif sebenarnya sudah terselesaikan. Artinya, pencairan dana/manfaat jaminan hari tua bagi peserta yang mengundurkan diri dari pekerjaan dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat, jika dilakukan sesuai prosedur yang diatur peraturam Menteri tersebut,” ucap Suhartoyo terhadap permohonan yang diajukan oleh Samiani selaku perseorangan warga negara yang menyatakan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN sebagaimana diubah UU Ciptaker bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Baca juga: PHK Tak Dapat JHT, UU SJSN Digugat
Diakomodir Peraturan Pelaksana
Sehubungan dengan persoalan yang dihadapi Pemohon melalui putusan ini, sambung Suhartoyo, bahwa Mahkamah menegaskan agar solusi hukum atas hal-hal yang potensial dialami Pemohon dapat diakomodir dalam peraturan pelaksana. Dengan catatan tidak boleh merugikan hak peserta JHT sepanjang pengunduran diri dan pemutusan hubungan kerja yang dialami benar-benar berakibat terhentinya yang bersangkutan untuk tidak bekerja kembali atau karena alasan-alasan yang bersifat adanya “keadaan memaksa” (force majeure), seperti halnya dalam kondisi pandemi Covid-19. Sementara terkait dengan perluasan makna lebih detail dalam peraturan pelaksana ditujukan tidak lain agar dapat mengakomodir hak peserta jaminan hari tua, yakni mendapatkan manfaat JHT bagi peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri atau mengalami PHK sebelum tercapai usia pensiun sewajarnya.
“Maka menimbang seluruh pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sedangkan hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya,” ucap Suhartoyo dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Pemohon yang Persoalkan Aturan JHT Pertegas Alasan Permohonan
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon menjelaskan hari tua bermakna ketika pekerja sudah tidak cakap lagi bekerja. Artinya, pekerja sudah tua, beralih profesi menjadi wiraswasta, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, adanya ketetapan pemerintah pada pasal a quo, justru tidak memberikan jaminan bagi peserta yang terkena PHK atau mengundurkan diri. Sehingga, Pemohon menilai ketentuan norma tersebut diskriminatif. Sebab, pekerja yang cacat total mendapatkan manfaat dari JHT, sementara pekerja yang terkena PHK harus menunggu hingga usia 56 tahun untuk memperolehnya. Bagi Pemohon, makna diskriminasi dalam persoalan perkara ini, yaitu pembuat undang-undang memberikan perlakuan yang berbeda bagi pekerja yang mengalami cacat total, meninggal dunia, dan pensiun dengan pekerja yang mengundurkan diri dan terkena PHK.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah meminta agar menyatakan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 yang telah diubah menjadi UU 11/2020 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang ditambahkan frasa “mengundurkan diri dan terkena pemutusan hubungan kerja” pada kedua norma yang dipersoalkan.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas : Raisa Ayuditha