JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang diajukan oleh E. Ramos Petege dan tiga Pemohon lainnya untuk seluruhnya. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 44/PUU-XX/2022 pada Kamis (7/7/2022).
Mahkamah menanggapi dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (2) UU Parpol karena dianggap tidak demokratis dan terbuka dalam proses rekrutmen warga negara untuk menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden dengan memohon kepada Mahkamah petitum yang bersifat alternatif.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, Pasal 29 ayat (2) UU Parpol pada prinsipnya menentukan proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. Frasa “secara demokratis dan terbuka” tersebut mulai muncul pengaturannya pertama kali pada pasal yang sama dalam UU yang lama (UU No. 2/2008). Dalam kaitan dengan proses yang demokratis dan terbuka tersebut memang tidak diberikan penjelasan lebih lanjut, namun didasarkan pada AD dan ART partai politik.
Wakil Ketua Aswanto yang membacakan pertimbangan hukum menyebut, Mahkamah berpendapat rekrutmen bakal calon sejatinya bukan merupakan bagian dari tahapan dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU 8/2015). Tahapan pemilihan kepala daerah mencakup tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, penyelenggara, in casu komisi pemilihan umum daerah, melakukan kegiatan yang dimulai dengan pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dilanjutkan di antaranya dengan kegiatan pendaftaran.
“Jika dikaitkan dengan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, juga tidak menentukan rekrutmen bakal calon merupakan bagian dari penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, proses rekrutmen sepenuhnya merupakan ranah otorisasi partai politik sebagaimana pertimbangan di atas,” ujar Aswanto.
Baca juga: Menyoal Kewenangan Pengurus Parpol Ajukan Capres-Cawapres
Bukan Masalah Konstitusionalitas Norma
Berkaitan dengan makna demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat (2) UU Parpol, menurut Mahkamah, tidak dapat dilepaskan secara doktriner dari asal katanya, yaitu “demos” dan “kratos” yang mengandung arti pemerintahan rakyat atau pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Jika dikaitkan dengan konteks dalil para Pemohon, maksudnya memberikan ruang bagi masyarakat pemilih, yang nantinya akan memilih langsung calon-calonnya, untuk ikut serta dalam proses pencarian bakal calon yang memenuhi syarat sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dikontestasikan oleh partai politik dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta pemilihan presiden dan wakil presiden.
Proses tersebut sejalan dengan fungsi partai politik yakni sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Pelaksanaan fungsi tersebut merupakan bagian dari tujuan khusus partai politik untuk meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Artinya, dengan terimplementasikannya maksud yang terkandung dari rekrutmen secara demokratis dan terbuka maka akan dihasilkan bakal calon yang sejalan dengan fungsi partai politik.
Dalam kaitan ini, Aswanto menyampaikan tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (2) UU Parpol karena telah sejalan dengan amanat konstitusi yang meletakkan dasar demokrasi dalam proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden. Guna mengejawantahkan maksud Pasal 29 ayat (2) UU Parpol diserahkan sepenuhnya pada AD/ART masing-masing partai politik. Artinya, AD/ART sebagai aturan main yang menggerakkan roda organisasi partai politik harus benar-benar mengatur proses rekrutmen tersebut yang berpijak pada prinsip demokrasi dan terbuka.
“Oleh karena itu, apakah akan digunakan mekanisme pemilihan pendahuluan atau konvensi dalam proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden, semua itu menjadi ranah kewenangan partai politik untuk mengaturnya dalam AD/ART masing-masing partai politik. Dengan demikian, AD/ART dari masing-masing partai politik tersebut dalam implementasinya perlu ditinjau atau diperhatikan agar senantiasa selalu berkesesuaian dengan prinsip demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) UU No. Parpol. Berkenaan dengan implementasi prinsip tersebut dalam AD/ART dapat menjadi ranah perhatian masyarakat untuk turut menilainya,” tegas Aswanto.
Baca juga: Pemohon Uji UU Pemilu Perkuat Argumen Kedudukan Hukum
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 44/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh E. Ramos Petege, dkk. Para Pemohon mengatakan ketentuan Pasal 29 UU Parpol tidak mempersyaratkan bagi partai politik untuk melakukan seleksi, kaderisasi, dan rekruitmen bagi calon presiden dan wakil presiden, melainkan dikembalikan pada ketentuan dalam AD/ART partai politik. Sementara kebutuhan untuk mekanisme seleksi dan rekruitmen calon presiden yang bersifat partisipatif dan transparan, sangat diperlukan untuk kemajuan demokrasi. Oleh karenanya, sambung Dixon, para Pemohon berpendapat hal demikian berpotensi membahayakan sistem politik nasional khususnya berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Selain itu, para Pemohon juga menilai sistem rekruitmen dan seleksi calon presiden dan wakil presiden dalam internal partai politik tidak transparan dan lebih mengedepankan kepentingan sektoral.
Dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 29 UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “bakal calon presiden dan wakil presiden yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan pendahuluan”. Kemudian, Pemohon juga meminta agar Pasal 29 UU a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan pendahuluan” berlaku mutatis mutandis terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim