JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (5/7/2022) secara daring. Permohonan Perkara Nomor 67/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Ainur Rofiq, Achmad Mutohar, dan Muhamad Yusuf (Pemohon I); Mohamad Dahlan Moga, Oheo Kaimuddin Haris, Safril Sofwan Sanib (Pemohon II); Khoirul Umam dan Laily Irmayanti (Pemohon III) serta 20 Pemohon lainnya.
Sejumlah pasal diujikan oleh para Pemohon, antara lain Pasal 5 ayat (3) UU JPH, “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri” dan dalam hal ini adalah Menteri Agama Republik Indonesia”.
Termasuk juga Pasal 6 UU JPH yang menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk; d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; f. melakukan akreditasi terhadap LPH; g. melakukan registrasi Auditor Halal; h. melakukan pengawasan terhadap JPH; i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Anwar Rachman, mendalilkan bahwa UU a quo tidak dapat memberikan jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya serta memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dimaksud karena norma-norma hukum dalam kedua UU a quo tidak sesuai dengan teori-teori hukum dan asas-asas hukum yang para Pemohon berikan kepada mahasiswa saat mengajar di kampus, sehingga dengan demikian para Pemohon telah dilanggar hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan keadilan dalam upaya mempersiapkan generasi muda penerus bangsa yang berkualitas dan berintegritas.
“Berlakunya UU Nomor 33/2014 dan UU Nomor 11/2020 menimbulkan potensi produk halal yang beredar di masyarakat diragukan kehalalannya, karena sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga yang secara hukum tidak berwenang untuk menerbitkan sertifikat halal, menetapkan kehalalan produk dan tidak pernah memeriksa dan menguji kehalalan produk dimaksud serta tanpa fatwa halal dari lembaga yang mempunyai kompetensi menyatakan kehalalan secara syar’i yakni Majelis Ulama Indonesia dan dampak sampingan yang ditimbukannya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sertifikat halal sehingga masyakarat abai terhadap kehalalan produk serta membanjirnya produk-produk impor yang dapat mematikan usaha mikro kecil,” jelas Anwar.
Intervensi Politik
Masih menurut para Pemohon, diberlakukannya UU JPH juncto UU Cipta Kerja akan menimbulkan potensi terjadinya intervensi politik karena Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tidak profesional dan tidak independen dan hal ini dikarenakan BPJPH secara struktural di bawah Kementerian Agama dan jabatan Menteri Agama adalah jabatan politik. Hal ini berakibat produk Indonesia akan tertolak di luar negeri. Selain itu, dapat mengganggu kelangsungan kehidupan masyarakat yang selama ini telah hidup dengan baik dan tentram terutama pelaku usaha mikro, kecil dan menengah akan terancam gulung tikar karena banjirnya produk dari produsen besar dan juga produk-produk dari luar negeri.
Menurut para Pemohon, keberadaan UU JPH juncto UU Cipta Kerja lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Oleh karena itu, para Pemohon meminta kepada MK agar mencabut dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pasal-pasal yang diujikan, yaitu Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 UU JPH, Pasal 29 ayat (1) UU JPH Jo Pasal 29 ayat (1) UU Cipta Kerja, Pasal 35 UU JPH, Pasal 42 ayat (1) UU JPH Jo Pasal 42 ayat (1) UU Cipta Kerja, serta Pasal 48 UU JPH Jo Pasal 48 UU Cipta Kerja.
Nasihat Hakim
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya mengatakan, sesuai surat kuasa, para Pemohon hanya menguji pasal-pasal dalam UU JPH dan UU Cipta Kerja sebagaimana disampaikan kuasa para Pemohon. Namun dalam permohonan ternyata ada sisipan pengujian formil.
“Sesungguhnya para Pemohon hanya menguji secara materiil karena tidak disebutkan dalam permohonan mengenai pengujian formil terhadap UU a quo, namun menguji pasal-pasal,” ujar Suhartoyo.
Dengan demikian, menurut Suhartoyo, ada dua pilihan bagi para Pemohon. Pertama, menghilangkan pengujian formil dan hanya menguji materiil. Pilihan kedua, dengan melengkapi dalam surat kuasa mengenai adanya pengujian formil selain pengujian materiil.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasehati para Pemohon agar me-rewrite permohonan, membenahi sistematika permohonan. “Karena memang permohonan para Pemohon belum sesuai dengan Peraturan MK No. 2 Tahun 2021, isinya sederhana, cukup menyampaikan perihal, ada identitas, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita dan petitum. Nanti tolong dibaca ya,” kata Enny menasihati.
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku Ketua Panel menegaskan kembali nasihat dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Menurut Wahiduddin, penjelasan dan masukan dari dua hakim tersebut sudah cukup, mulai dari mengingatkan kepada para Pemohon untuk melihat putusan MK terkait UU yang diujikan, serta hal-hal penting lainnya untuk perbaikan permohonan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.