BOGOR, HUMAS MKRI - Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) beserta putusannya telah melahirkan dinamika perkembangan hukum baru yang turut menentukan bagaimana hukum dijalankan. Selain itu, menuju 19 tahun keberadaan MK telah pula menjadi episentrum perkembangan hukum, wacana, dan ilmu pengetahuan bidang hukum tata negara di Indonesia. Demikian penggalan materi yang disampaikan Fajar Laksono Suroso yang merupakan Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK pada hari kedua Bimtek Hukum Acara Pengujian Undang-Undang bagi Analis Hukum Angkatan 1 yang digelar oleh Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi (Pusdik MK), Selasa (5/7/2022).
Fajar mengatakan bahwa dulunya sebelum MK menjadi bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, materi hukum tata negara di bangku perkuliahan atau akademik masih tidak terlalu diminati. Namun setelah MK dalam peran, fungsi, dan kewenangannya, materi terkait hukum tata negara mulai menggeliat. Sebab, kedinamisan bidang hukum tersebut mulai menarik minat banyak pihak untuk mengulasnya lebih dalam.
“Hal yang tak bisa dipungkiri juga bahwa melalui putusannya, MK melahirkan teori-teori baru dan perspektif hukum baru dalam wacana dunia pengetahuan hukum di Indonesia,” kata Fajar dalam paparannya yang mengangkat bahasan mengenai “Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” yang disampaikan secara daring dari Gedung 2 MK, Jakarta.
Baca juga: Bimtek Hukum Acara PUU Dibutuhkan Para Analis Hukum
Penyempurnaan Konstitusi
Pemateri berikutnya hadir I Dewa Gede Palguna yang pernah menjabat sebagai Hakim MK Masa 2003 – 2008 dan 2015 – 2020 yang memaparkan materi berjudul “Penafsiran Konstitusi”. Di hadapan para analis hukum dari berbagai instansi pusat dan daerah ini, Palguna menyampaikan urgensi penafsiran konstitusi yang dinilai dapat menjadi salah satu cara penyempurnaan konstitusi. Sebab, di dalam penafsiran konstitusi tersebut terdapat upaya untuk mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkanding dalam konstitusi. Sehingga, tak hanya sekadar mencocokkan suatu peristiwa, hal, atau keadaan dengan pasal-pasal atau ketetuan dalam konstitusi, melainkan melakukan pencarian jawaban atas pertanyaan dalam memandang konstitusi dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan dari suatu norma.
“Dengan demikian dapat dikatakan, pnafsiran konstitusi menjadi suatu mekanisme untuk memastikan suatu konstitusi telah benar-benar dilaksanakan dalam praktiknya dan sesuai dengan pengertian yang terkandung di dalamnya serta tujuan yang hendak diwujudkan oleh konstitusi tersebut,” sampai Palguna.
Legislasi MK dalam PUU
Pada kesempatan berikutnya, Mardian Wibowo selaku Panitera Pengganti MK membagi ilmu dan pengalamannya di MK dalam paparan bertema “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945.” Dikatakan oleh Mardian bahwa dalam kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, pengajuannya pernah dibatasi dengan keberadaan Pasal 50 UU MK. Namun kemudian, seiring dengan berkembangnya kebutuhan hukum, ketentuan tersebut diubah sehingga MK kemudian dapat melakukan pengujian UU selama berpedoman pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945.
“Tidak semua undang-undang bisa diujikan karena hanya undang-undang yang didelegasikan berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 yang bisa dipakai MK dalam uji formil. Sebab, UUD 1945 tidak mengatur mengenai prosedur pembentukan Perpu. Sehingga poin detailnya diserahkan pada UU P3 yang dipakai MK batu uji sekunder dalam uji formil, sementara dalam uji materiil, batu uji hanya UUD 1945,” kata Mardian.
Selanjutnya Mardian membahas mengenai peran legislasi MK dalam pengujian undang-undang. Menurutnya terdapat tiga peran MK dalam peran pokok ini. Pertama, MK dapat dikatakan sebagai negative legislator. Dalam peran ini MK dapat melakukan beberapa cara, di antaranya menghapus norma secara keseluruhan; mengubah norma dengan menghapus kata, frasa, atau sebagian kalimat dari pasal atau ayat tertentu. Jika suatu rumusan pasal dihilangkan kata atau frasanya, sambung Mardian, maka dapat berakibat pada berubahnya makna dari sebuah norma.
Peran kedua yakni MK sebagai positive legislator di mana MK dapat mengubah norma dengan cara menambahkan kata atau frasa ke dalam rumusan pasal atau ayat tertentu; dan mengubah norma melalui pemberian manka baru tanpa mengubah redaksi kalimat pasal atau ayat UU. Berikutnya, pada peran ketiga MK sebagai afirmasi. Sederhananya, dalam hal ini permohonan yang telah disidangkan di MK dinyatakan ditolak sehingga tidak terjadi perubahan apapun atas suatu norma undang-undang yang diujikan ke MK.
Untuk diketahui, kegiatan bimtek yang diikuti oleh 400 orang peserta digelar selama empat hari, yakni Senin - Kamis (4 - 7/7/2022). Dalam kegiatan tersebut, peserta mendapatkan materi terkait Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang hingga teknik penyusunan permohonan pengujian undang-undang. Sejumlah narasumber hadir memberikan materi seperti mantan hakim konstitusi, panitera pengganti, dan lainnya. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.