JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketidakpastian hukum akan timbul dalam penanganan suatu perkara jika dilakukan pembatasan pengajuan kembali terhadap dakwaan yang telah dinyatakan batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal tersebut karena putusan yang menyatakan, “batal demi hukum” hanya menilai syarat formal dan belum memeriksa pokok perkara. Demikian keterangan Mustamin mewakili Mahkamah Agung (MA) yang hadir sebagai Pihak Terkait dalam sidang keenam Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 yang digelar pada Senin (4/7/2022) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri para pihak secara daring.
“Mahkamah Agung berpendapat jika terhadap dakwaan yang telah dinyatakan batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP dilakukan pembatasan pengajuan kembali, maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap penanganan suatu perkara. Karena putusan yang menyatakan, ‘Batal demi hukum,’ hanya menilai syarat formal dan belum memeriksa pokok perkara,” jelas Mustamin di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Keterangan MA tersebut menanggapi dalil Pemohon yang menyebut belum adanya tafsir terhadap Pasal 143 ayat (3) KUHAP, berakibat penuntut umum dalam melakukan perbaikan dakwaan tidak mengembalikan ke tingkat penyidikan untuk dilakukan penyidikan kembali. Tak hanya itu, Pemohon berdalih penuntut umum tidak memiliki batasan jumlah pengajuan perbaikan atas surat dakwaan yang telah dinyatakan batal demi hukum yang mengakibatkan perkarayang dakwaannya dinyatakan, “Batal demi hukum,” terus kembali berulang‑ulang tanpa adanya titik terang penyelesaian dan kepastian hukum.
Baca juga: Aturan Mengenai Surat Dakwaan dalam Uji KUHAP Digugat
Selain itu, MA memberikan bantahan terhadap dalil Pemohon yang menyebut dalam hal dakwaan dinyatakan batal demi hukum, maka berkas perkara dikembalikan kepada penyidik dan dapat didakwa kembali hanya satu kali setelah melalui proses penyidikan baru.” Atas hal tersebut, lanjut Mustamin, MA berpendapat ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP hanya menentukan dakwaan batal demi hukum dan terhadap berkas perkara penyidikan tidak secara mutatis mutandis menjadi batal. Di samping itu, sambungnya, pada saat dilakukan penyidikan terhadap tersangka dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), maka sejak saat itu antara penyidik dan penuntut umum sudah saling berkoordinasi hingga akhirnya dinyatakan berkas perkara lengkap atau P21.
“Ketika perkara dinyatakan lengkap oleh penuntut umum atau P21, maka sejak itu kewenangan penyidik telah selesai dan beralih menjadi kewenangan penuntut umum. Dengan demikian, jika terhadap perkara yang sebelumnya telah dinyatakan lengkap, kemudian harus dilakukan pendidikan baru, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian,” terang Mustamin yang menyampaikan keterangan secara daring.
Baca juga: Pemohon Uji KUHAP Mengenai Surat Dakwaan Perjelas Argumentasi Permohonan
Tidak Ada Batasan
Sementara itu, sehubungan dengan dalil tidak adanya batasan dalam mengajukan kembali dakwaan yang telah dinyatakan batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP sama pengaturannya dengan tidak adanya batasan bagi penuntut umum untuk mengembalikan berkas perkara kepada penyidik sebelum berkas dinyatakan lengkap oleh penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 138 KUHAP, maka MA memberikan pendapat. Bahwa pembatasan pengajuan dakwaan yang telah dinyatakan “batal demi hukum” akan mengakibatkan perkara mengambang dan tidak jelas status penyelesaiannya. Sehingga mengenai berapa lama penuntut umum akan mengajukan kembali dakwaan yang telah dinyatakan “batal demi hukum” menjadi kewenangan penuntut umum sepenuhnya berdasarkan asas dominus litis sepanjang perkara tersebut, tidak melewati batas kedaluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 78 dan Pasal 79 KUHP.
“Maka Mahkamah Agung menyimpulkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP tidak memberikan batasan kepada penuntut umum untuk mengajukan perbaikan atas surat dakwaan sepanjang tidak melewati batas kedaluwarsa penuntutan,” jelas Mustamin.
Lewat Pengadilan
Hal berbeda disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis yang dihadirkan oleh Direktur PT Karya Jaya Satria Umar Husni sebagai Pemohon. Dalam keterangannya, Margarito menyebut tidak ditemukan satu pun ketentuan yang mengatur seorang ketua pengadilan berwenang mengembalikan surat dakwaan dengan alasan dakwaan tidak cermat, jelas, dan lengkap. Ia menyebut seharusnya pengadilan tetap harus menggelar sidang memeriksa perkara tersebut.
"Pemeriksaan ini menjadi satu-satunya cara pengadilan, entah terbantu oleh terdakwa dan/atau penasihat hukum melalui eksepsinya, menemukan ketidakcermatan, ketidakjelasan, dan ketidaklengkapan materiil dakwaan. Tidak dengan cara lain, apa pun itu," sebut Margarito.
Nalarnya, sambung Margarito, batal demi hukum surat dakwaan harus dinyatakan oleh majelis hakim. Kebatalan surat dakwaan dengan demikian memerlukan tindakan positif yang bersifat judicial dan dinyatakan dalam putusan hakim.
"Masalahnya, apakah setelah putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, jaksa penuntut umum masih dapat mendakwa lagi, untuk kedua atau ketiga kalinya? Itulah masalah konstitusional sesungguhnya dan terbesar dalam perkara ini. Itulah ketidakjelasan dan kekaburan norma batal demi hukum. Masalahnya, logiskah menyatakan “batal demi hukum” tertuju atau terbatas hanya pada dakwaan sebagai suatu fakta?" papar Margarito.
Secara Praktis
Menanggapi pernyataan Margarito, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Ahli Pemohon tersebut memperjelas maksud keterangan yang disampaikan. Hal tersebut karena Suhartoyo melihat Ahli memahami 'batal demi hukum' secara praktis, yakni perbuatan terdakwa dinyatakan tidak ada dan kemudian perkara tidak bisa diajukan kembali.
"Ini lebih berani lagi ini, Pak, ini, Pak Margarito ini. Jadi perbuatannya dianggap tidak ada terlebih untuk diajukan kembali. Nah, itu yang saya tangkap di kesimpulan Bapak itu. Nah, oleh karena itu, bagaimana esensi sesungguhnya kalau kemudian ada hak‑hak di sana yang juga harus dilindungi? Kalau hanya melalui satu surat dakwaan saja kemudian dinyatakan batal demi hukum oleh hakim, kemudian perbuatannya hilang, kalau surat dakwaan yang bersangkutan dinyatakan dianggap tidak ada (ex nunc, ex tunc) mungkin masih ada kesempatan untuk diajukan kembali. Tapi kalau perbuatannya dinyatakan tidak ada, Pak, ini yang menurut saya perlu dijelaskan di forum persidangan ini, apakah tidak berbahaya seperti itu, Pak Margarito?" tanya Suhartoyo.
Menjawab pertanyaan tersebut, Margarito menilai Pasal 143 ayat (3) KUHAP tidak memenuhi syarat sebagai norma. Ia beralasan pasal tersebut mencerminkan elemen atau kualitas objektif norma yang sama ditafsir beda‑beda oleh setiap orang sesuai dengan sudut pandang dan kepentingannya.
"Semua yang subjektif-subjektif itu dipangkas menjadi objektif agar Mahkamah dan saya, orang lain dan saya, dan semua orang melihat sesuatu itu dengan satu cara dan satu pandangan dengan satu maksud, tidak seperti sekarang ini. Hakim bilang begini, hakim satu bilang begini, jaksa bilang begini, pemerintah bilang begini. Itu sebabnya sekali lagi, norma ini bagi saya tidak memenuhi kualifikasi sebagai norma hukum, dia ini tidak cukup objektif karena memungkinkan orang menafsir lebih dari satu pengertian, bahkan tidak ada pengertian yang rigid. Itu sebabnya perlu ditafsir, perlu diberi bentuk konkret, apa sebenarnya barang ini? Supaya semua orang memiliki kepastian. Dan dengan begitu, makanya dia memenuhi syarat menjadi pemandu, rujukan, kompas, pengendali, penunjuk. Kalau yang sekarang, tidak memenuhi syarat itu," jawab Margarito.
Baca juga: Kejagung Sebut Aturan Surat Dakwaan Menjaga Hak Terdakwa
Legitimasi Pemilik Otoritas
Sedangkan Rocky Marbun dalam pandangannya menyatakan pemaknaan terhadap konsep “dakwaan demi hukum” mengalami reduksi makna yang terbalik dengan konsep aslinya. Sebab dalam proses pereduksian makna tersebut memperoleh legitimasi dan justifikasi melalui suatu strategi kebahasaan oleh pemilik otoritas. Di Indonesia hal ini tercermin dalam tindakan menundukkan diri terhadap civil law system, sehingga dialektika pereduksiannya tidak lagi bertitik tolak dari tindak tutur komunikasi. Oleh karena akan selalu berwujud dalam bentuk komunikasi tertulis, yakni Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dan Peraturan Jaksa Agung Muda tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, yang bersembunyi di balik asas diferensiasi fungsional. Akibatnya, sambung Rocky, Kejaksaan mengalami kekeliruan epistemologis dengan menetapkan dampak dari putusan sela yang dalam amarnya menyatakan “dakwaan batal demi hukum” adalah sama dengan “dakwaan tidak dapat diterima”, yaitu dapat diperbaiki oleh penuntut umum dan dilimpahkan kembali kepada pengadilan negeri. Penyebab munculnya kekeliruan epistemologis sebagai truth games tersebut dilihat Rocky terjadi dikarenakan adanya problem etis melalui penafsiran terhadap konsep-konsep yang ada dan pada akhirnya menjadi suatu model kesesatan berpikir.
“Dengan demikian, pemaknaan terhadap konsep batal demi hukum tidak dapat diserahkan kepada institusi yang berkepentingan. Oleh karena trinity of power yang melekat pada dirinya akan dikendalikan oleh sejarah pengaruh dan kepentingannya untuk bertindak sebagai oposisi biner superior yang akan berakibat kepada munculnya ketidakpastian dan ketidakadilan,” jelas Rocky.
Baca juga: Pemerintah: Penerapan Aturan Surat Dakwaan Merupakan Kewenangan Hakim
Sebelumnya, Pemohon menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 143 ayat 3 (KUHAP) berbunyi, “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Berdasarkan dalil yang disebutkan di atas, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana