MAKASSAR, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi pemateri Diskusi Publik bertema “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perspektif Keadilan dan HAM”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Riksawan Institute dan Nusakom Pratama Institute pada Sabtu (25/6/2022) di Gedung IPTEK Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Mengawali paparan, Aswanto menyatakan adanya jaminan hak asasi manusia (HAM) dalam konstitusi merupakan salah satu ciri negara hukum. Jaminan atas HAM terdapat dalam Bab XA Pasal 28A - Pasal 28J UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah pula ditegaskan Indonesia merupakan negara hukum sehingga adanya jaminan HAM merupakan sebuah keniscayaan dan penegasan terhadap keberadaan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Selain itu, sambung Aswanto, negara hukum juga mengandung ciri adanya perlindungan konstitusional atas hak-hak asasi tersebut yang cara dan prosedurnya telah diatur dalam konstitusi.
Di hadapan peserta diskusi yang juga dihadiri oleh Guru Besar FH Unhas Judhariksawan dan dimoderatori oleh Arie Junaedi selaku Direktur Nusakom Pratama Institute ini, Aswanto menyebutkan lahirnya MK dengan salah satu kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang menjadi suatu perwujudan atas cara dan prosedur perlindungan konstitusional atas hak-hak asasi yang dijamin dalam konstitusi. Sehingga, meskipun pembentukan undang-undang menjadi kewenangan DPR bersama dengan Presiden, namun MK juga diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam posisi ini, jelas Aswanto, MK berfungsi sebagai pelindung HAM yang dalam pelaksanaan kewenangannya harus memberikan putusan yang dapat memberikan jaminan keadilan.
Dalam konteks memberikan jaminan keadilan ini, Aswanto mengatakan MK telah memutusnya melalui pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP yakni Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016. Hasilnya dimungkinkan untuk diajukan Peninjauan Kembali (PK) yang dapat dilakukan lebih dari satu kali. Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan keadilan harus lebih diutamakan dibanding kepastian hukum khususnya dalam perkara pidana. Sebab, PK dalam perkara ini menjadi upaya hukum luar biasa yang bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil.
“Sehingga MK menegaskan dalam putusannya, upaya untuk menemukan keadilan ini tidak dapat dibatasi oleh waktu. Sehingga hal ini berbeda dengan upaya untuk mencapai kepastian hukum yang sangat layak memperoleh pembatasan,” kata Aswanto dalam kegiatan yang dilaksanakan secara hybrid dengan dihadiri oleh hakim pada pengadilan negeri, praktisi hukum, dan mahasiswa dari Gedung Iptek Unhas dan zoom meeting.
Aswanto menjelaskan, dalam ilmu hukum dikenal dan diakui pula adanya asas litis finiri oportet, yang artinya setiap perkara harus ada akhirnya. Namun, jelas Aswanto, asas ini terkait dengan kepastian hukum yang tidak dapat diterapkan secara rigid dalam hukum pidana, terutama dalam mencari keadilan dan kebenaran materiil. Sehingga MK melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 menegaskan rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP setidaknya memuat empat landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.
Dengan demikian, sampai Aswanto, hak untuk mengajukan permohonan PK menjadi hak bagi terpidana atau ahli waris dan bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Apabila Jaksa/Penuntut Umum melakukan PK, padahal sebelumnya telah mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan PK berakibat pada ketidakpastian hukum dan sekaligus ketidakadilan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.