JAKARTA, HUMAS MKRI – Berbagai norma internasional yang tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), berbagai perjanjian internasional hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial, budaya dan juga berbagai konvensi yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, jelas memberikan hak dan kebebasan kepada laki‑laki maupun perempuan untuk melakukan pernikahan dan membentuk keluarga tanpa dibatasi oleh sekat-sekat agama, etnisitas, maupun status sosial lainnya. Salah satu dasar hukumnya adalah Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal HAM yang mengatakan, “Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.” Lebih lanjut, dasar hukum yang relevan adalah Pasal 23 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang mengatakan, “Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.”
Hal tersebut disampaikan Usman Hamid sebagai Ahli yang dihadirkan E. Ramos Petege (Pemohon) pada sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Senin (27/6/2022). Pada Sidang Pleno Perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya ini, Usman menerangkan perkawinan beda agama perspektif hukum internasional HAM dan hukum Islam.
Usman mengungkapkan, lembaga‑lembaga HAM dunia, termasuk organisasi non-pemerintah seperti Amnesty International menganggap hak untuk menikah dan membentuk keluarga adalah bagian dari HAM. Berbagai komentar umum Komite HAM PBB, putusan-putusan Komite HAM Umum PBB ketika memeriksa kasus-kasus perselisihan antara warga negara dengan negara anggota PBB terkait pernikahan menyatakan, “Tidak boleh ada keraguan untuk membolehkan pernikahan beda agama di dalam berbagai kasus negara‑negara tersebut.”
Diferensiasi atau Diskriminasi?
Usman selanjutnya menyampaikan tafsir dalam praktik-praktik hukum Islam yang dihubungkan dengan hukum internasional HAM dalam hal perkawinan beda agama. Berbeda dengan kaidah hukum internasional yang membolehkan perkawinan beda agama, kaidah‑kaidah hukum Islam, jelas terdapat pendapat umum mengenai larangan pernikahan beda agama yang cukup ketat. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 221, Surat Al‑Mumtahanah ayat 10, ada konsensus di kalangan para ahli fikih Sunni maupun ahli fikih Syiah bahwa perempuan muslim dilarang menikah dengan laki‑laki non-muslim. Konsensus para ahli hukum Islam hingga kini masih sangat berpengaruh, yaitu bahwa sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an melarang perempuan Muslim untuk menikah dengan laki‑laki non-muslim. Sebaliknya, masih menurut kaidah hukum Islam, Al-Qur’an membolehkan laki-laki Muslim untuk menikah dengan perempuan non-muslim (ahlul kitab).
“Dalam perspektif hukum internasional ketentuan seperti itu akan dinilai sebagai hukum yang diskriminatif. Memang sekilas seperti diferensiasi, tetapi jelas terlihat unsur diskriminasi. Pertanyaan sederhananya adalah mengapa hanya laki‑laki Muslim yang boleh menikahi perempuan non-muslim, sementara perempuan non-muslim tidak boleh menikahi laki‑laki non-muslim? Di mana letak persamaan hak dan kesetaraan sesama manusia antara keluarganya?” kata Usman.
Terkait masalah tersebut, jelas Usman, Komite HAM PBB pernah menegaskan bahwa hak untuk memilih pasangan yang dibatasi oleh norma hukum atau praktik yang mencegah pernikahan perempuan dari satu agama dengan laki‑laki yang tidak beragama atau berbeda agama, maka negara harus menyediakan informasi seputar hak‑hak dan praktik‑praktik seperti ini. Negara harus mengambil langkah‑langkah untuk menghapus hukum dan praktik tersebut.
“Jadi, meskipun arah Komite HAM PBB sudah jelas, yaitu agar negara‑negara yang membatasi hak untuk memilih pasangan segera mengambil langkah‑langkah menghapus hukumnya atau menghapus praktiknya. Di dalam praktik tetap saja tidak mudah sebab masalahnya bukan sebatas pada tafsir atas praktik, tetapi problem pada norma,” jelasnya.
Usman menegaskan hukum internasional menjamin hak‑hak dan kesetaraan perempuan maupun laki‑laki di dalam mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Larangan perkawinan beda agama bisa dipahami karena ada kekhawatiran yang tinggi di masa Nabi karena ketika itu kedudukan perempuan masih sangat rendah akibat kebudayaan patriarki, bahkan keberadaan perempuan nyaris tidak dianggap sama sekali. Saat itu, akses ekonomi bagi perempuan, akses pendidikan bagi perempuan sangat tertutup. Islam sendiri masih merupakan agama baru yang cenderung terancam karena belum kuat karena jumlahnya yang sedikit.
“Jadi, ketika perempuan muslim menikah dengan laki‑laki nonmuslim, ada anggapan umum ketika itu bahwa potensi terjadinya perpindahan agama pada sisi istri menjadi lebih besar karena perempuan di zaman tersebut dipandang sebagai hampir pasti akan ikut pada ajaran suami dan hal itulah yang dinilai mengurangi jumlah umat muslim yang saat itu masih sangat sedikit,” lanjut Usman.
Namun menurut Usman, saat ini telah terbentuk tradisi-tradisi baru yang melampaui tradisi‑tradisi penyembahan berhala yang membuat hak perempuan, kebebasan perempuan jauh lebih dilindungi di masa‑masa saat ini. Negara Republik Indonesia atau negara‑negara lain yang menganut asas demokrasi memberi jaminan yang lebih tegas kepada perempuan, baik muslim, non-muslim, kepada laki‑laki muslim maupun non-muslim untuk mengakses pendidikan, ekonomi, dan juga tetap memeluk agama dan keyakinannya meskipun ada di dalam suatu pernikahan yang dilatarbelakangi oleh agama yang berbeda.
Agama dan Kemajemukan
Dalam kesempatan yang sama, Pemohon juga menghadirkan seorang ahli psikologi sosial, Risa Permanadeli. Risa berpendapat bahwa agama adalah bagian dari variabel perubahan dan (semestinya) membuat bangsa Indonesia semakin bersifat terbuka. “Selain itu, agama harus bersifat dinamis karena merepresentasikan kecerdasan bangsa, yang berani melihat perubahan zaman sehingga makna kemajemukan yang ada masyarakat Indonesia tetap menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia,” jelas Risa.
Lebih lanjut, Risa mengungkapkan bahwa ia meyakini pandangan demikian setelah mencermati cara berpikir pada masyarakat modern yang memiliki heterogenitas dan terdiri atas percampuran elemen hidup yang menggerakkan masyarakat dalam irama perubahan, termasuk masyarakat Indonesia. Risa mengajak semua masyarakat menyadari hal mendasar saat pembentukan suatu bangsa yang sangat heterogen. Dengan demikian, masyarakat akan memahami dengan baik bahwa masyarakat dengan heterogenitas yang sangat kompleks tersebut sangat rentan pada masalah sosial.
Baca juga:
Gagal Nikah karena Beda Agama, Seorang Warga Uji UU Perkawinan
Pemohon Uji Ketentuan Perkawinan Beda Agama Kurangi Objek Pengujian
Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan DPR dan Pemerintah
MUI Minta MK Tolak Perkawinan Beda Agama
Sebagai informasi, E. Ramos Petege (Pemohon) merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menuyatakan, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.