PALEMBANG, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan orasi ilmiah pada pelantikan Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) pada Sabtu (25/6/2022) di Griya Agung Palembang.
Wahiduddin menyampaikan, pemaknaan ilmuwan diartikan secara sempit oleh mayoritas kalangan masyarakat. Ilmuwan adalah mereka yang telah menempuh pendidikan secara formal, melalui sekolah hingga perguruan tinggi.
“Saat ini kita hidup di zaman yang sudah berkembang sedemikian pesat. Pengetahuan yang telah diperolah dari zaman ke zaman berhasil dikumpulkan dan dikodifikasi. Kemudian, manusia juga menemukan cara dan metode untuk membuat ukuran-ukuran ilmiah agar pengetahuan tersebut sesuai dengan standar pengetahuan yang ditetapkan. Pengetahuan yang diperoleh, kemudian diajarkan dalam institusi-institusi pendidikan. Bila seorang siswa yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar dalam institusi pendidikan berhasil melampaui standar kelulusan dari yang ditetapkan institusi maka sang siswa diberikan sertifikasi kelulusan,” papar Wahiduddin.
Jangan Hanya dari Bangku Kuliah
Kesimpulannya, ujar Wahiduddin, orang yang menggenggam sertifikasi dari instansi pendidikan layak untuk menyebut dirinya sekaligus dianggap oleh masyarakat sebagai ilmuwan. Di sisi lain, dalam dinamika masyarakat terdapat ilmu-ilmu yang tidak diajarkan dalam bangku sekolah dan “ilmu” yang tidak diajarkan itu ternyata mampu mendekatkan seorang hamba kepada sang Pencipta.
“Oleh sebab itu, saya ingin mendorong dan menghimbau kepada para mahasiswa yang tergabung dalam PMII untuk tidak hanya terpaku dan terpukau oleh silaunya ilmu-ilmu yang diajarkan di bangku kuliah. Ada ilmu-ilmu yang bila dipelajari dengan mendalam justru hanya akan menjauhkan siswa pembelajar dari Allah. Padahal, ilmu itu dipelajarinya dari bangku sekolah, misalnya, filsafat ala Yunani yang ada percabangan dalam ilmu tersebut yang justru menjauhkan kita dari Allah SWT,” ungkap Wahiduddin.
Sejak zaman dulu, kata Wahiduddin, Imam Al Ghazali telah memberi kritik tajam terhadap para filsuf yang dituangkannya dalam buku “Tahafut Al-Falasifah”. Bahwa kerancuan para filosof, atau dalam bahasa popular bisa juga diartikan “ngaconya para ilmuwan filsafat”. Tetapi, ini juga tidak berarti bahwa kita tidak boleh mempelajari filsafat secara umum. Bahkan, cabang ilmu filsafat juga dipelajari di dunia pesantren, misalnya ilmu mantiq atau ilmu logika, berfikir secara logis. Bila menelusuri sejarah awal perkembangan Islam, penyebarannya berjalan dengan sangat pesat bahkan sejak Khalifah Umar bin Khattab hingga ke daratan Timur Tengah, Palestina. Namun persebaran ini belum diikuti dengan meratanya pengetahuan mengenai agama secara paripurna. Penyebarannya bukan melalui literatur tetapi masih sebatas ilmu yang disampaikan secara lisan. Jangan dibayangkan dengan keadaan sekarang dimana tulis menulis sudah lazim bahkan sudah ada internet dan google untuk mencari tahu. Dulu, ilmu agama masih didominasi oleh tradisi lisan yang disampaikan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in yang jumlahnya pun terbatas.
“Oleh karena itu, untuk mencari tahu hukum atau fiqih, banyak orang mengandalkan pengetahuan para ulama. Bagi Ulama yang berada di jazirah Arab, penafsiran akan hukum-hukum dalam Al-Qur’an diuntungkan dengan pengetahuan mengenai riwayat hadits yang disampaikan oleh Rasulullah. Tetapi, bagi kaum muslimin yang tinggal jauh dari jazirah Arab dan pengetahuan tentang periwayatan hadits belum terkompilasi dengan baik, maka untuk menafsirkan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dibutuhkan alat bantu. Pilihannya jatuh pada menggunakan metode berpikir logis, atau ilmu mantiq itu,” jelas Wahiduddin.
Dua “Aliran”
Dengan demikian, sambung Wahiduddin, pada masa awal perkembangan Islam terdapat dua “aliran” dalam rangka menafsirkan hukum Islam. Di daerah-daerah yang dekat dengan Mekkah dan Madinah, penafsiran atas Al-Qur’an banyak menggunakan ingatan para sahabat, tabi’it dan tabi’it tabi’in akan sunah Rasulullah. Tetapi, untuk daerah-daerah yang jauh dari Mekkah dan Madinah maka penafsiran dilakukan dengan menggunakan alat bantu “filsafat” atau ilmu logika.
“Saya perlu menekankan, hal ini terjadi dulu pada masa-masa awal perkembangan Islam dan persebaran ilmu pengetahuan belum merata. Tetapi, setelahnya ketika tradisi ilmu, baca tulis dan keinginan untuk mempelajari Islam sedemikian besar maka para ulama menyusun beragam metode saintifik untuk mengumpulkan pengetahuan dan sudah ada pertukaran ilmu pengetahuan. Misalnya, tentang ilmu hadits itu tidak lagi didominasi oleh muslim yang berasal dari jazirah Arab. Bahkan, ahli hadits juga ada yang datang jauh, ribuan kilometer dari Mekkah yang berasal dari kota Bukhara di daerah Uzbekistan saat ini. Makanya, ulama ini dikenal dengan nama Imam Bukhari. Imam Bukhari hidup dua abad setelah Nabi Muhammad, sekitar tahun 200-an Hijriah dimana pertukaran ilmu pengetahuan mengenai hukum Islam berkembang dengan pesat,” urai Wahiduddin.
Dalam dunia hukum tempat Wahiduddin berkecimpung dalam keseharian untuk melakukan uji konstitusionalitas UU, ia seringkali melihat bahwa banyak yang terkesima dengan konsep-konsep barat. Seolah ilmu itu berasal dari peradaban barat. Padahal, bila diamati dan ditelaah dengan baik, konsep-konsep yang sama juga dipelajari dalam hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, seringkali ia juga menyadur konsep-konsep itu dengan istilah Arab sebagai penyepadanan.
“Sebagai contoh, saya lebih memilih kata ‘maslahah mursalah’ dibandingkan ‘proportionality’ karena pada pokoknya kedua hal itu menyangkut rumusan yang sama yaitu berupaya mencari keseimbangan dan kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan. Baik kepentingan pribadi maupun kepentingan umum, dan mana yang harus didahulukan diantara konflik kepentingan itu,” tegas Wahiduddin.(*)
Penulis: Nano Tresna A.
Editor: Lulu Anjarsari P.