Jakarta, Kompas - Meskipun rakyat masih dirundung dengan berbagai masalah sosial akibat kenaikan harga minyak dunia, partai politik justru asyik dengan dirinya sendiri.
Selain sibuk menyelesaikan konflik internal di tubuhnya, partai politik juga lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi Pemilu 2009 dan merebut kekuasaan di daerah melalui pilkada.
Direktur Eksekutif The Lead Institute Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto di Jakarta, Sabtu (19/4), menilai kondisi tersebut terjadi karena parpol mengidap autisme sosial. Elite parpol menjadi rabun dengan berbagai persoalan yang melilit masyarakat dan abai dengan keinginan masyarakat.
Kondisi ini telah melahirkan ketidakpercayaan publik yang sangat tinggi terhadap parpol dan sistem yang ada. Tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau menjadi golongan putih dalam pemilu dan pilkada, mencerminkan ketidakpercayaan itu. Masyarakat lebih suka membangun basis politik di tingkat akar rumput yang justru menegasikan kehadiran parpol.
âSensitivitas parpol terhadap isu-isu yang menjadi perhatian publik sangat kurang. Orientasi parpol melompat jauh kedepan meninggalkan persoalan riil rakyat dan sibuk dengan agendanya sendiri,â kata Bima.
Fungsi tak jalan
Secara terpisah, dosen hukum tata negara Universitas Padjadjaran Indra Prawira mengatakan fungsi parpol untuk mendidik masyarakat, rekrutmen calon pemimpin, dan membawa visi perubahan kedepan bagi bangsa nyaris tak ada yang dilakukan. Parpol semakin terpecah secara spasial, yang ditandai dengan semakin banyaknya parpol baru.
âSemangat untuk bergabung atau berkoalisi sangat rendah karena tak adanya saling kepercayaan sesama bangsa sebagai inti demokrasi,â katanya.
Menurut Bima, tidak berfungsinya peran partai terjadi karena sistem politik Indonesia belum memberikan kepastian bagi para pelaku politik sendiri. Meksipun bekerja keras membangun karier politik dari bawah, namun para elite politik itu tetap dapat terpental setiap saat dari lingkaran politik yang ada.
Ketidakjelasan ini membuat fungsionaris parpol menerapkan sistem aji mumpung saat mereka berkuasa. Mereka juga lebih mengandalkan hubungan kedekatan dengan pemegang kekuasaan kunci di parpol untuk eksis daripada meningkatkan kapasitasnya sebagai politisi.
âSistem kepartaian yang buruk ini harus segara dibenahi, baik dari dalam maupun dari luar partai,â ujarnya.
Bima menambahkan semua pihak harus turut membenahi parpol. Pembenahan ini memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun, parpol tetap harus dibangun berdasarkan sistem jangka panjang dan visi kedepan yang mampu diterjemahkan secara nyata dalam masyarakat.
Tindakan anti-parpol, tuntutan penguatan calon perseorangan, dan kampanye untuk menjadi golput justru mencerminkan tidak sehatnya demokrasi yang ada saat ini. Jika tanggung jawab memperbaiki parpol dilepas, maka kehidupan demokrasi sendiri yang akan berada dalam bahaya.
Indra mengatakan kunci penataan parpol dan sistem politik yang ada terletak pada kuatnya kepemimpinan nasional. Presiden harus berani menegakkan sistem yang sudah diatur dalam konstitusi agar tidak disandera oleh para elite parpol. (MZW)
Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.21.01293582&channel=2&mn=154&idx=154
Foto: www.perspektif.net