JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam praktik bernegara, sangat mungkin bagi pembuat undang-undang membuat substansi suatu norma yang merugikan kekuasaan eksekutif. Oleh karenanya disediakan ruang bagi pemegang kekuasaan eksekutif untuk melakukan proses pembahasannya dengan pembuat undang-undang. Namun bagaimana jika pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif berasal dari kelompok yang sama? Sementara ditemukan substansi dari undang-undang yang merugikan warga negara, maka disediakan mekanisme eksternal melalui pengujian materil atau formil yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Inilah cerminan nyata bagaimana bekerjanya check and balances dari suatu lembaga negara. Demikian pembahasan pembuka yang dipaparkan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (FH UHO) bekerja sama dengan Perhipunan Advokat Indonesia (Peradi) pada Jumat (24/6/2022) secara daring.
Lebih lanjut Saldi mengatakan dalam suatu sistem ketatanegaraan tidak ada lembaga yang tidak bisa dicek kewenangannya dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Hal ini tampak pada sejarah ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, pendiri negara pernah merumuskan keinginan untuk mendirikan lembaga yang dapat mengkaji ulang suatu norma undang-undang, namun ide tersebut belum dapat direalisasikan. Sebab pada masa itu dinilai ahli hukum masih sangat minim dan dikhawatirkan Balai Agung akan memiliki posisi lebih tinggi dari pembentuk undang-undang. Dengan demikian, urgensi dari pembentukan lembaga serupa MK tersebut belum dinilai perlu dan mendesak. Barulah pada periode reformasi 1999–2002 dilakukan pengubahan konstitusi dan perdebatan akan pentingnya lembaga yang dapat melakukan kewenangan pengujian undang-undang pun mulai kembali menjadi pembahasan.
“Tetapi pada saat itu apabila kewenangan demikian diberikan pada MA, maka tumpukan perkara yang lebih dari 20.000 akan membuat MA menambah tumpukan perkara yang harus diselesaikannya. Maka disepakatilah untuk membuat lembaga baru yang diberi nama Mahkamah Konstitusi yang diberi otoritas untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945 serta kewenangan,” terang Saldi secara daring dalam kegiatan yang mengangkat tema mengenai “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Hanya Pemohon dan Hakim
Berikutnya Saldi membahas secara runut mengenai pelaksanaan hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Berbicara Undang-Undang MK (UU MK) termasuk ketentuan hukum formil dan materil, diakui Saldi bahwa pada hukum formil langkah teknis MK sangat terbatas, sehingga MK menyiapkan beberapa aturan, yakni PMK Hukum Acara yang juga telah mengalami perubahan beberapa kali dan rekonstruksi hukum acara yang dibuat oleh hakim konstitusi saat membuat Putusan MK atas suatu permohonan.
Disebutkan oleh Saldi, hukum acara MK memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan hukum acara lainnya terutama dalam pengujian undang-undang (PUU). Dalam sidang PUU, hanya ada Pemohon dan Hakim Konstitusi yang menilai permohonan. Sementara pihak lain, seperti DPR, Presiden/Pemerintah, Ahli/Saksi hanya bersifat fakultatif. Pun diadakan Sidang Pleno yang dihadiri sembilan atau setidaknya tujuh hakim konstitusi, maka MK dalam hal ini merasa perlu mendengarkan keterangan dari pembuat undang-undang dalam menjabarkan permasalahan konstitusionalitas norma yang diujikan ke MK tersebut.
“Jadi, posisi DPR, Presiden, Ahi, dan Saksi bukan posisi yang berhadap-hadapan dengan Pemohon. Di sini pembentuk undang-undang akan disurati MK untuk menjelaskan norma yang dipertanyakan konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Sehingga banyak perkara yang juga diputus MK tanpa mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Sebab hakim merasa tidak perlu mendengarkan keterangan dan mencukupkan bahan-bahan yang diberikan Pemohon,” sampai Saldi.
Berikutnya Saldi membahas mengenai cara kerja hukum acara di MK. Sebelum digelar sidang pendahuluan, MK telah melakukan proses awal di Kepaniteraan MK dengan memeriksa syarat minimal suatu permohonan yang akan diregistrasi oleh MK. Yakni, adanya permohonan, bukti awal permohonan, identitas kuasa hukum (advokat/tidak advokat). Berikutnya Kepaniteraan MK akan melakukan registrasi dengan pemberian nomor perkara dan mengirimkan daftar perkara tersebut pada Ketua MK dan untuk selanjutnya ditunjuk tiga hakim panel yang akan menyelenggarakan sidang panel. “Penentuan Ketua Sidang Panel oleh Ketua MK ini penting dilakukan terutama untuk penentuan drafter saat suatu permohonan yang disidangkan oleh Sidang Panel tersebut memasuki tahap putusan,” jelas Saldi.
Nasihat Tidak Mengikat
Saldi lebih lanjut menjelaskan, saat digelarnya sidang pendahuluan, panel hakim hakim konstitusi akan memberikan nasihat kepada Pemohon, usai Pemohon membacakan ringkasan permohonannya yang terbuka untuk umum. Adapun sifat nasihat tersebut adalah tidak mengikat dan Pemohon akan diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Atas nasihat dalam sidang panel tersebut, ada Pemohon yang memperbaiki dan ada yang tidak memperbaikinya, tetapi umumnya memperbaiki permohonannya.
Berikutnya Pemohon akan diundang lagi untuk menyampaikan hasil dari perbaikan permohonanya dan pengesahan alat bukti yang disertakan untuk mendukung permohonan. Lalu, hakim konstitusi akan didampingi Panitera Pengganti untuk membuat catatan awal. Kemudian Kepaniteraan akan memberikan jadwal terkait permohonan untuk membahas dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Di dalam agenda tersebut, para hakim konstitusi akan mengulas permohonan oleh Ketua Hakim Panel beserta hakim panel. Setiap hakim akan memberikan penilaian, di antaranya mengenai legal standing. Apabila hakim menilai Pemohon tidak memiliki legal standing, maka permohonan akan berhenti sampai di sana dan permohonan akan dianggap Niet Ontvankelijke Verklaard (NO). Sehingga, para hakim akan menentukan sikap untuk memutuskan perkara. Namun jika Pemohon dinilai memiliki legal standing, maka sidang akan dilanjutkan ke pleno dan hakim tidak bersikap terlebih dahulu sampai kemudian dilaksanakannya sidang pleno.
Dalam memutus perkara, kata Saldi, sangat sulit bagi hakim mencari persamaan antara sembilan hakim yang ada guna merumuskan pendapatnya dalam memutuskan suatu perkara PUU. Bahkan pernah dalam satu perkara MK, RPH dilakukan sebanyak 20 kali hingga akhirnya dapat disepakati sebuah putusan bersama. Namun terkadang ada juga permohonan yang dapat diputus dengan cepat karena sudah NO sejak dari awal, seperti tidak memiliki kedudukan hukum, permohonan kabur (lain dalil dan lain yang diminta pada petitum).
“Maka, kepada para calon advokat, mulailah mewakafkan waktu untuk membaca putusan pengadilan atas perkara apapun untuk mempersiapkan diri dari memperbanyak membaca permohonan dan putusan-putusan yang ada pada pengadilan,” kata Saldi kepada sejumlah calon advokat yang mengikuti materi secara daring.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.