SURABAYA, HUMAS MKRI - Berbicara Konstitusi yang hidup (living constitution) yang menekankan penafsiran konstitusi yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, adanya amendemen UUD 1945 menjadi sebuah jawaban yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Demikian penggalan kalimat yang dituturkan oleh Hakim Konstituasi Daniel Yusmic P. Foekh dalam Seminar Hukum Nasional Lawferia Club dengan tema “Penerapan Sistem Hukum Indonesia yang Berkeadilan” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Medan (UPH) pada Jumat (24/6/2022) secara daring.
Dalam paparan berjudul “Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, dan Pembangunan Sistem Hukum yang Berkeadilan” Daniel mengatakan bahwa melalui amendemen pada 1999 – 2002 ini, dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) yang berperan bersama dengan Mahkamah Agung dalam menegakkan keadilan di Indonesia. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan selanjutnya mengenai kewenangan MK tersebut dijabarkan pada Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Sementara itu, dalam kewenangannya MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Adapun bentuk dari putusan MK tersebut meliputi konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, menunda keberlakuan putusan, dan merumuskan norma baru. Seiring berkembangnya kebutuhan hukum di masyarakat dan negara, MK juga mengalami perkembangan kewenangan berupa menguji Perpu. Selain itu, MK juga diberikan kewenangan yakni mengadili sengketa hasil Pilkada sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Sistem Hukum Berkeadilan
Berkaitan dengan pembangunan sistem hukum yang berkeadilan, Daniel mengatakan MK melalui kiprahnya pun turut mengambil peran pada pembangunan hukum nasional. Sebagai ilustrasi, Daniel menceritakan pelaksanaan persidangan di MK, khususnya pada masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan dilakukan pertemuan dalam ruang yang sangat terbatas. Dalam pelaksanaan persidangan tersebut, MK melakukan optimalisasi perbaikan sistem hukum dengan memanfaatkan dukungan teknologi informasi untuk menggelar persidangan.
“Sampai saat ini MK masih melakukan sidang daring. Sedangkan untuk sidang sengketa hasil pilkada, mK melakukannya secara hybrid, pihak-pihak yang dihadirkan di ruang sidang dibatasi sesuai dengan anjuran saat penanganan Covid-19,” cerita Daniel.
Selain itu, wujud yang dilakukan MK terhadap pembangunan hukum, yakni melakukan modernisasi sistem peradilan dengan meningkatkan standar mutu pelayanan yang profesional melalui pematangan dukungan teknis dan substantif peradilan. Hal ini, kata Daniel, tergambar pada perkembangan penanganan perkara di MK. Sejak terbentuknya pada 2003 hingga Juni 2022, MK telah meregistrasi sejumlah 1.567 perkara PUU, 29 perkara SKLN, 676 perkara PHPU, dan 1.136 penanganan perkara pilkada. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.