CISARUA, HUMAS MKRI – Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) bagi Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI), memasuki hari ketiga, Rabu (22/6/2022), secara daring dari Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama MK-AAKI.
Peneliti Mahkamah Konstitusi Irfan Nur Rachman menjadi pemateri dengan tema “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”. Memulai paparan, Irfan menjelaskan pengertian Konstitusi secara sempit dan luas. “Konstitusi dapat dibedakan dalam arti sempit yakni UUD 1945 dan dalam arti luas, dalam hal ini nilai-nilai dasar kenegaraan,” ucap Irfan.
Dikatakan Irfan, Konstitusi merupakan sumber bagi seluruh undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya di suatu negara Dalam konteks supremasi konstitusi (constitutional supremacy), segala keputusan dan tindakan apa pun harus sesuai dengan konstitusi.
Sejarah Pengujian UU
Irfan juga menuturkan sejarah pengujian UU pertama kali di dunia lewat Kasus Marbury vs Madison (1803). Kasus ini diawali dengan lengsernya Presiden Amerika Serikat, John Adams diganti dengan Thomas Jefferson pada 1800. Sebelum lengser John Adams mengangkat orang-orang dekat menjadi pejabat, termasuk menjadi hakim. Setelah ditandatangani, SK pengangkatan itu tidak sempat disampaikan kepada para pejabat yang bersangkutan karena John Adams keburu lengser.
Presiden terpilih Thomas Jefferson menolak memberikan salinan SK pengangkatan itu kepada para pejabat yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan protes, salah satunya William Marbury karena merasa SK pengangkatan dirinya sudah disetujui Senat. Marbury mengadu ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya menolak gugatan Marbury, namun dari kasus itulah judicial review muncul.
Pada pertemuan itu Irfan juga menerangkan sejarah singkat pengujian Undang-Undang di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang. Namun Soepomo tidak setuju karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang disusun tidak menganut sistem trias politica.
Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian undang-undang kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. Dalam perkembangannya, MKRI memilliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD.
Lebih lanjut Irfan memaparkan mengenai persidangan terbuka, yakni Persidangan terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH); Peradilan cepat, sederhana, dan tanpa biaya; Hakim bersifat aktif dan pasif; Asas pembuktian bebas.
Kemudian mengenai pengujian undang-undang, dapat dilakukan untuk seluruh UU termasuk Perppu, yang terdiri dari pengujian materiil dan formil. Pengujian materiil berkaitan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU atau Perppu. Tidak ada batas waktu mengajukan permohonan. Sedangkan pengujian formil berkaitan dengan proses pembentukan UU atau Perppu, batas waktu 45 hari.
“Terkait pengujian formil, yurisprudensi putusan MK menyatakan diprioritaskan untuk diputus lebih dahulu dalam jangka waktu 60 hari. Selain itu, undang-undang yang diuji dapat ditangguhkan oleh MK,” jelas Irfan.
Pengujian Norma
Berikutnya, hadir Panitera Pengganti MK Saiful Anwar yang membahas materi “Teknik Penyusunan Permohonan Pengujian UU Terhadap UUD NRI Tahun 1945”. Dijelaskan Saiful, perkara pengujian undang-undang adalah perkara yang hanya satu pihak, yang diuji adalah norma undang-undang. Ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau lawan.
Selanjutnya Saiful menjelaskan para pihak dalam sidang PUU, yakni Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait. Ketiganya dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan.
Sedangkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang- undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia atau termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, serta badan hukum publik atau privat, maupun lembaga negara.
Mengenai Pemberi Keterangan, jelas Saiful, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Selain itu, Keterangan Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi saat proses pembahasan dan/atau risalah rapat dari undang- undang atau perpu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau yang diminta oleh Mahkamah.
“Kemudian yang disebut Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung dan/atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang hak, kewenangan, dan/atau kepentingannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan dimaksud,” papar Saiful.
Usai paparan materi dari Irfan Nur Rachman dan Saiful Anwar, kegiatan PPHKWN berlanjut dengan praktik penyusunan permohonan pengujian undang-undang. Para peserta kegiatan dibagi dalam kelompok-kelompok kelas terpisah untuk belajar menyusun sistematika dan format permohonan sesuai yang didapat dari materi sebelumnya. Setelah itu, para peserta melanjutkan tugas mandiri praktik penyusunan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.
Baca juga:
Sekjen MK: Analis Kebijakan Jangan Terbelenggu Aturan Level Teknis
Tiga Guru Besar Jadi Narasumber PPHKWN MK-AAKI
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.