CISARUA, HUMAS MKRI – Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) bagi Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) masih berlangsung pada Selasa (21/6/2022) secara daring dari Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama MK-AAKI.
Memasuki hari kedua kegiatan PPHKWN, empat narasumber hadir menyampaikan materi, yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Adji Samekto, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Ni’matul Huda, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas) Judhariksawan, serta Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono.
Adji Samekto menyajikan materi “Tantangan dalam Reaktualisasi Implementasi Nilai-Nilai Pancasila”. Ni’matul Huda menyampaikan materi “Sistem Penyelenggaraan Negara Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945”. Judhariksawan dengan materi “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD NRI 1945”. Fajar Laksono menampilkan materi “Konstitusi dan Konstitusionalisme”.
Adji Samekto mengatakan makna nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, tidak kelihatan, tetapi ada dalam ide, pikiran manusia. Misalnya, menghormati orangtua adalah perbuatan baik, itu adalah nilai. Mencintai negara adalah bagian dari iman, itu adalah nilai.
“Semua nilai yang saya contohkan itu sebenarnya bersumber dari pengalaman inderawi dan kesadaran berdasarkan akal. Nilai itu ada di setiap orang. Tapi ketika nilai menjadi milik umum, dia menjadi akal sehat,” jelas Adji.
Oleh sebab itu, kata Adji, sumber nilai-nilai Pancasila adalah pengalaman bangsa Indonesia yang berdasarkan fakta atau empiris serta pengalaman akal atau rasional. Pengalaman bangsa Indonesia tersebut, ada dalam Pancasila, terangkum berupa nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan Sosial.
“Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila merupakan satu kesatuan utuh, tidak saling terpisahkan satu sama lain,” ujar Adji.
Selanjutnya, kata Adji, dari nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila ada pemaknaan-pemaknaan dari nilai-nilai tersebut. Nilai Ketuhanan dimaknai kehidupan manusia berasal dari Tuhan. Manusia dikonsepsikan dalam konteks makhluk Tuhan yang Maha Esa, bukan manusia dalam konteks individual. Kemudian nilai Kemanusiaan dimaknai bahwa manusia tidak dapat sendirian mengembangkan dunia, tetapi bersama-sama dari berbagai suku, ras, dan agama.
Sedangkan nilai Persatuan Indonesia dimaknai Persatuan Indonesia adalah sikap aktif, cara merasakan, berpikir dan mempertahankan keberlanjutan hidup dalam suatu kebersamaan berdasarkan perasaan senasib dan kesamaan tempat hidup. Setelah itu, nilai Kerakyatan dimaknai di Indonesia semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan karena ada kesadaran bahwa manusia sesungguhnya berdiri sejajar.
“Lalu, nilai Keadilan Sosial dimaknai bahwa tujuan kehidupan negara Indonesia adalah hidup bersama mewujudkan kesejahteraan umum melalui cara-cara yang mencerminkan keadilan sosial dimana negara harus hadir,” papar Adji.
Cita Hukum Bangsa Indonesia
Ni’matul Huda dalam paparannya mengatakan cita hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila. Para Pendiri Negara Republik Indonesia menetapkan Pancasila sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD1945.
“Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta. Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan negara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD1945,” urai Ni’matul.
Berikutnya, Ni’matul menerangkan sistem penyelenggaraan negara Indonesia. Dikatakan Ni’matul, dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, penyelenggara kekuasaan eksekutif adalah Presiden (single executive), yang dalam melaksanakan kewajiban, kewenangan, dan tugasnya dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri negara. Wakil Presiden dan Menteri adalah Pembantu Presiden. Dengan kata lain, hubungan antara Presiden dengan Wakil Presiden dan Menteri tidak bersifa collegial. Salah satu konsekuensinya, dalam praktik diterima pandangan bahwa yang bertanggung jawab adalah Presiden.
Namun, lanjut Ni’matul, setelah amendemen UUD 1945 pada 1999-2002, kekuasaan legislasi Presiden berkurang. Ada pembatasan masa jabatan atau periodesasi jabatan Presiden, Presiden dapat dimakzulkan. Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR, dan berkurangnya hak prerogratif Presiden.
Hak Konstitusional Warga Negara
Judhariksawan dalam paparannya menjelaskan pengertian hak konstitusional (constitutional rights) sebagai seperangkat hak bagi warga negara yang disepakati, diatur dan dijamin pemenuhannya berdasarkan konstitusi negara. Kata ‘seperangkat’ sudah lazim dipakai untuk membuat semacam akumulasi atau jumlah dari beberapa kondisi yang diatur.
Judhariksawan juga mengungkapkan hak-hak konstitusional dalam UUD 1945 yang meliputi tanggung jawab negara, hak-hak warga negara dan hak asasi manusia. Tanggung jawab negara adalah melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Sedangkan hak-hak warga negara, kata Judhariksawan, disebutkan dalam Pasal 27 UUD 1945, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selain itu, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kemudian hak asasi manusia, menurut Judhariksawan, merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hal ini termaktub dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Masa Jabatan Presiden
Fajar Laksono dalam paparannya menjelaskan pembatasan masa jabatan Presiden Indonesia. Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali. Akibatnya Presiden Soeharto terpilih menjadi Presiden berkali-kali. Beberda halnya setelah perubahan UUD 1945 yang mengatur Presiden hanya boleh menjabat dua periode.
“Pak Harto tidak salah, tapi Konstitusinya memungkinkan dia dipilih berkali-kali. Dia menjabat selama 32 tahun,” ucap Fajar.
Lainnya, Fajar menjelaskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang diatur dalam UUD 1945. Ditegaskan Fajar, sebelum ada ketentuan tersebut, tidak ada kemerdekaan berserikat dan berkumpul dari warga negara. Hal ini menurut Fajar adalah imbas dari pasal yang multitafsir.
Baca juga:
Sekjen MK: Analis Kebijakan Jangan Terbelenggu Aturan Level Teknis
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.