JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengawasan terhadap hakim konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya. Demikian salah satu pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi terhadap Perkara Nomor 56/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh advokat Ignatius Supriyadi. Dalam Putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian perkara yang menguji konstitusionalitas Pasal 27A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK).
“Amar putusan mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial’ tidak dimaknai ‘1 (orang) dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun’,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para Hakim Konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, pada Senin (20/6/2022).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah berpendapat adanya anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang salah satunya adalah dari unsur anggota Komisi Yudisial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU UU MK tidak sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam putusan Mahkamah terdahulu.
“Karena dalam pertimbangan putusan tersebut di atas, Mahkamah pada pokoknya antara lain telah secara nyata menegaskan Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain,” ucap Manahan di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri pihak yang berperkara secara daring.
Dengan kata lain, sambung Manahan, pengawasan terhadap hakim konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya. Hal tersebut sama halnya apabila dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang masih tetap melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja hakim konstitusi sehingga pada akhirnya hal tersebut tetap menempatkan atau menjadikan Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial.
Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Sehingga, Mahkamah dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dapat merasa bebas merdeka tanpa tekanan dari pihak manapun.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah, Manahan menegaskan dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak lagi melibatkan Komisi Yudisial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU UUMK. Namun, agar tidak terjadi kekosongan keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (stagnan) dari salah satu unsur sebelum dilakukannya perubahan oleh pembentuk undang-undang, maka Mahkamah dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari Komisi Yudisial adalah dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun, dalam rangka menjamin sikap netral dan independen keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi nantinya.
“Sehingga, dengan adanya penggantian komposisi tersebut Mahkamah dapat segera melanjutkan penyusunan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengenai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang disusun oleh Mahkamah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 27A ayat (7) UU a quo yang menyatakan pada pokoknya ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi,” papar Manahan.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah dalam amar putusan a quo menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial” tidak dimaknai “1 (orang) dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun”.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya,” tandas Manahan.
Pendapat Berbeda
Terhadap Putusan Mahkamah a quo, Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyatakan seharusnya permohonan tersebut ditolak.
Menurut Saldi, persoalan konstitusionalitas Komisi Yudisial sebagai anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sejatinya sangat bergantung dari bagaimana model pembentukan MKMK itu sendiri. Apabila MKMK dibentuk sebagai Majelis yang bersifat tetap dengan tugas dan fungsi sehari-harinya untuk mengawasi hakim konstitusi, maka keberadaan anggota dari unsur Komisi Yudisial di dalam MKMK tersebut menjadi bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tertanggal 23 Agustus 2006. “Berdasarkan pertimbangan hukum di dalam Putusan tersebut, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial,” ujar Saldi.
Namun, kata Saldi, apabila model pembentukan MKMK bersifat ad hoc yang hanya dibentuk sementara atau tidak tetap, yang intinya berfungsi untuk menindaklanjuti laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi, maka keberadaan unsur Komisi Yudisial sebagai anggota MKMK dapat dikatakan tidak bertentangan dengan hakikat Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tersebut.
Selama ini, MKMK selalu diposisikan dan dibentuk sebagai Majelis yang bersifat ad hoc. Karenanya, tidak ada yang mempermasalahkan keberadaan unsur anggota Komisi Yudisial dalam keanggotaan MKMK di dalamnya. Sebab, MKMK yang dibentuk secara ad hoc tersebut terbatas untuk melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Tugas tersebut dilakukan dengan cara memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim terduga serta meminta keterangan dari para pihak yang terkait. Atas hasil pemeriksaan tersebut, MKMK hanya berwenang terbatas untuk menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
Pentingnya Dewan Etik
Dalam pendapatnya pula, Saldi menekankan pentingnya keberadaan Dewan Etik yang sempat masuk ke dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Tahun 2017 melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Menurut Saldi, sebagaimana termaktub dalam Naskah Akademik RUUMK, Dewan Etik merupakan bagian dari penguatan lembaga. Dewan Etik justru akan meningkatkan kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi. Pengalaman sebelum berlakunya UU\MK, untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim konstitusi, dibentuk Dewan Etik. Adanya Dewan Etik selama ini dibentuk atas inisiatif Mahkamah Konstitusi setidaknya dapat menjadi jembatan untuk melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penelaahan laporan dan/atau informasi tentang adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi, sebelum hasilnya disampaikan ke MKMK.
Saldi juga mengungkapkan pengalaman sebelum terbentuknya Dewan Etik, setiap laporan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim konstitusi disampaikan langsung kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, Ketua Mahkamah Konstitusi akan menilai, laporan yang harus ditindaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti. Artinya, dalam mekanisme terdahulu, unsur subjektivitas ketua sebagai pemegang peranan sangat menonjol dalam menilai setiap laporan yang masuk tersebut.
“Karenanya, keberadaan Dewan Etik atau perangkat lain dengan nama sejenisnya yang bersifat tetap, justru dapat menjauhkan terjadinya conflict of interest sekaligus menghindarkan penilaian yang subjektif. Menyerahkan penilaian terhadap dugaan pelanggaran terhadap hakim konstitusi yang aktif, sekalipun dilakukan melalui forum rapat permusyawaratan hakim (RPH), apalagi berkenaan dengan dirinya langsung atau hakim lainnya, justru akan menimbulkan rasa canggung ataupun rasa sungkan sesama hakim konstitusi. Dalam hal ini, dengan membentuk Dewan Etik, diharapkan akan muncul sikap netral dan lebih objektif dalam memeriksa serta menilai setiap temuan atau laporan yang diterimanya,” papar Saldi.
Saldi melanjutkan apabila Dewan Etik atau perangkat lain dengan nama sejenisnya di masa mendatang tidak akan dibentuk lagi, maka alternatif terbaik lainnya adalah menjadikan MKMK menjadi perangkat bersifat permanen guna menggantikan wewenang dan tugas keseharian Dewan Etik, yang jamak dikenal selama ini dalam mengawasi hakim konstitusi sehari-hari. Jika pembentukan MKMK yang bersifat permanen ini dilakukan maka anggota Komisi Yudisial tidak bisa menjadi unsur anggota.
Namun sebaliknya, lanjut Saldi, jika pilihan adalah memosisikan MKMK sebagaimana fungsi Dewan Etik seperti sebelum berlakunya UU MK, masuknya unsur Komisi Yudisial sebagai salah seorang anggota adalah sesuatu yang inkonstitusional. Artinya, memaknai “1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial menjadi 1 (satu) orang dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik” tanpa terlebih dahulu menjelaskan sifat, ad-hoc atau permanen, MKMK adalah tidak dapat dibenarkan.
“Terlebih lagi, dengan terdapatnya 1 (satu) orang anggota MKMK dari hakim konstitusi aktif potensial menimbulkan problematik dan jebakan baru dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Dengan tidak adanya penjelasan jelas dan komprehensif perihal sifat, ad hoc atau permanen, MKMK sebagaimana termaktub dalam Pasal 27A ayat (2) UU 7/2020 justru potensial meruntuhkan makna hakiki Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi,” tandas Saldi. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim