JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Demikian butir amar Putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam persidangan pada Senin (20/6/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Priyanto yang berprofesi sebagai advokat.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Menyatakan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menyatakan pengaturan perubahan usia merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang. Semula ketentuan usia hakim paling rendah 47 tahun kemudian diubah menjadi 55. Pilihan kebijakan demikian merupakan sesuatu yang tidak dilarang dan juga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dihapusnya ketentuan mengenai periodisasi jabatan hakim konstitusi tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga bukan hal yang terlarang. Justru peniadaan periodisasi demikian membawa implikasi positif berupa penguatan baik dari segi independensi maupun imparsialitas hakim konstitusi dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Namun, di sisi lain adanya perubahan aturan demikian memang tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak bagi para pihak yang terkait pengisian jabatan hakim konstitusi. “Oleh karena itu, agar aturan baru tersebut dapat diberlakukan dengan baik tanpa merugikan siapapun yang telah mematuhi undang-undang yang lama, maka diperlukan suatu ketentuan peralihan,” kata Wakil Ketua MK Aswanto membacakan pertimbangan hukum putusan.
Mahkamah dapat memahami bahwa keberadaan Pasal 87 huruf b UU MK adalah sebagai norma “jembatan/penghubung” dalam rangka memberlakukan ketentuan Pasal 15 UU MK yang mengubah Pasal 15 UU 8/2011. Dapat juga dikatakan bahwa dari sisi penafsiran sistematis, Pasal 87 huruf b UU MK merupakan “jembatan” yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru. Anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, sedangkan anutan konsep baru adalah nonperiodisasi jabatan hakim. Perubahan konsep mendasar demikian pada akhirnya membawa implikasi bagi hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat.
Menurut Mahkamah, kehendak pembentuk UU berada pada posisi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehendak DPR, Presiden, maupun Mahkamah Agung secara parsial atau secara sendiri-sendiri. Posisi lebih tinggi demikian dalam konteks yang harus selaras dengan ide dasar konstitusionalisme di mana UUD 1945 sebagai konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi atau dasar hukum utama bagi semua kebijakan hukum di Indonesia.
“Dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, ketiga lembaga tersebut yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dengan cara memilih/mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi,” lanjut Aswanto.
Mahkamah dalam berbagai putusannya sampai saat ini masih tetap pada pendiriannya bahwa penentuan batasan usia merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang selama pilihan demikian merupakan pilihan terbaik dalam arti memilih kebijakan hukum yang dampaknya paling ringan bagi seluruh pihak terdampak berdasarkan prinsip maximum minimorum.
Konstitusionalitas Masa Jabatan Ketua dan Wakil Ketua
Pasal 87 huruf a UU MK mengatur mengenai jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK. Selengkapnya Pasal 87 huruf a UU MK mengatakan, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”
Pemberlakuan aturan baru tersebut menimbulkan masalah hukum berkenaan dengan masih berlaku/berlangsungnya jabatan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang jabatan demikian diemban/diperoleh berdasarkan UU 8/2011. Permasalahan tersebut dijawab pembentuk UU dengan mengkonstruksi ketentuan peralihan berupa Pasal 87 huruf a UU MK yang pada pokoknya mengatur bahwa Ketua dan Wakil Ketua yang terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua berdasarkan UU 8/2011 dan masih menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua pada saat UU MK mulai diberlakukan, maka yang bersangkutan tetap menjabat “sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.
Namun menurut Mahkamah, ketentuan demikian memunculkan kemenduaan makna (ambigu) karena adanya penggunaan frasa “masa jabatannya”. Frasa “masa jabatan” yang disebutkan UU MK ternyata dipergunakan dalam dua arti/konteks, yaitu masa jabatan sebagai Hakim Konstitusi dan masa jabatan sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Tidak adanya penegasan arti/konteks “masa jabatan” mana yang diacu oleh Pasal 87 huruf a UU 7/2020 telah menciptakan ketidakpastian hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945.
“Selain karena persoalan ambiguitas di atas, ketentuan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak sesuai dengan amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 yang telah dengan tegas menyatakan Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Oleh karenanya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak dapat langsung menjabat tanpa melalui proses pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi.
“Dengan demikian, proses pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi harus dikembalikan pada esensi pokok amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum putusan.
Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 87 huruf a UU MK beralasan menurut hukum. Dengan kata lain, Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Putusan ini selesai diucapkan. Namun demikian, agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo maka Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945.
“Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 (sembilan) bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,” tegas Enny.
Pendapat dan Alasan Berbeda
Terhadap Pasal 87 huruf a UU MK, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Sedangkan terhadap Pasal 87 huruf b UU MK Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan ketentuan Pasal 87 huruf a UU MK memuat perpanjangan masa jabatan Ketua/Wakil Ketua yang saat ini menjabat hingga berakhir dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, sehingga tidak merugikan bahkan menguntungkan bagi Ketua/Wakil Ketua yang saat ini menjabat karena masa jabatannya langsung diperpanjang. Akan tetapi ternyata norma Pasal 87 huruf a UU MK bertentangan dengan norma konstitusi, yakni Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi”.
“Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak dapat secara otomatis berlaku sesuai dengan norma UU a quo, sebab norma konstitusi mengatur dengan jelas bahwa Ketua/Wakil Ketua harus dipilih dari dan oleh hakim konstitusi sehingga tidak dapat diperpanjang langsung oleh ketentuan UU a quo. Perpanjangan langsung oleh UU a quo pada masa jabatan Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi telah menegasikan peran dan wewenang hakim konstitusi dalam pemilihan Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, Ketua/Wakil Ketua yang masa jabatannya berakhir setelah adanya UU a quo, dapat melanjutkan masa jabatannya sebagai Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sepanjang telah dilakukan pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi,” kata Arief.
Arief juga mengatakan, ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK yang menyatakan, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.” memuat norma bahwa apabila ada hakim konstitusi yang terdampak dan menjadi tidak memenuhi syarat karena UU a quo, baik karena faktor usia maupun karena masa jabatannya berakhir, dianggap memenuhi syarat dan tetap menjabat sebagai hakim konstitusi hingga berusia 70 (tujuh puluh) tahun asalkan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.
“Ketentuan ini bertentangan dengan norma konstitusi, yakni Pasal 24C ayat (3) yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.” Sebab, Pasal 87 huruf b a quo telah menegasikan peran dan kewenangan dari ketiga lembaga pengusul, yakni Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Presiden dalam menentukan hakim konstitusi hingga berusia 70 (tujuh puluh) tahun asalkan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun,” jelas Arief.
Oleh karena itu, sambung Arief, agar tidak menegasikan peran dan kewenangan ketiga lembaga pengusul dimaksud, maka hakim konstitusi yang tidak memenuhi syarat tersebut perlu mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul untuk dapat melanjutkan masa jabatannya sebagai hakim konstitusi sebagaimana ketentuan a quo. Ketika lembaga pengusul melakukan konfirmasi atas permintaan Mahkamah, maka lembaga pengusul dapat mengambil sikap untuk: (1) Hakim yang bersangkutan dapat melanjutkan masa jabatannya sesuai dengan ketentuan UU a quo; atau (2) Menolak perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi tersebut karena tidak memenuhi persyaratan ketentuan UU a quo. Namun pada dasarnya, prinsip yang dianut oleh Ketentuan Peralihan adalah upaya untuk melindungi pihak yang terdampak sebagai akibat adanya perubahan regulasi agar tidak dirugikan. Hal ini berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land).
Pendapat berbeda disampaikan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman. Anwar mengatakan, seharusnya Mahkamah menjatuhkan putusan dengan mendasarkan kepada setidaknya dua hal. Pertama, penerapan prinsip atau kaedah pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik. Kedua, penerapan prinsip kepastian hukum yang adil, sekaligus prinsip kesamaan di hadapan hukum terhadap pemberlakuan sebuah norma.
Menurut Anwar, norma di dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah suatu sistem yang saling melengkapi satu sama lain. Tidak boleh di dalam pembentukan sebuah undang-undang ada norma yang justru menegasikan norma lainnya. Jika hal tersebut terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut keluar atau tidak sesuai dengan kaedah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Demikian pula halnya terhadap kedudukan ketentuan peralihan suatu undang-undang, ia tidak memiliki fungsi untuk menegasikan suatu norma di dalam ketentuan pokok UU dimaksud, melainkan hanya untuk menjaga proses transisional keberlakuan suatu UU, agar dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan dan kesinambungan, dari keberlakuan UU yang lama terhadap UU yang baru.
“Dengan demikian telah jelas, bahwa ketentuan peralihan, tidak boleh menegasikan ketentuan pokok yang telah mengatur dengan jelas dan rinci, mengenai keberlakuan suatu rumusan norma,” ujarnya.
Selain itu, sambung Anwar, penerapan prinsip kepastian hukum yang adil sekaligus prinsip kesamaan di hadapan hukum, terhadap pemberlakuan sebuah norma, harus diterapkan secara bersama dan sekaligus dalam pengujian Pasal 87 huruf b UU MK. Jika ketentuan peralihan di dalam UU a quo tetap diberlakukan, maka jelas terjadi contradictio interminis, atau pertentangan di antara norma-norma di dalam suatu UU, yang berdampak kepada terjadinya ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Di samping itu, bisa membawa dampak negatif lain yaitu menciptakan kerugian konstitusional warga negara termasuk Pemohon.
Baca juga:
UU MK Dianggap Tutup Kesempatan Pemohon Jadi Hakim Konstitusi
Sejumlah Peneliti dan Dosen Uji Formil Pembentukan UU MK
Dua Ahli Pemohon Paparkan Pendapat Soal Perubahan Ketiga UU MK
Perubahan Ketiga UU MK Menurut I Gde Pantja Astawa dan Zainal Arifin Mochtar
Romo Andang: Hukum yang Memuat Keuntungan Pribadi Diragukan Objektivitasnya
Pada persidangan kali ini, Mahkamah juga mengucapkan Putusan Nomor 100/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian UU MK. Permohonan diajukan oleh sejumlah peneliti dan dosen. Mereka adalah R. Violla Reinida Hafidz, M. Ihsan Maulana, Rahmah Mutiara, Korneles Materay, Beni Kurnia Ilahi, Giri Ahmad Taufik, dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh. Dalam amar putusan, Mahkamah menolak permohonan untuk seluruhnya. Putusan ini juga diwarnai adanya alasan berbeda (concurring opinion) pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi.
Baca Juga:
Sejumlah Peneliti dan Dosen Uji Formil Pembentukan UU MK
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.