JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan tentang jumlah Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hal demikian diputuskan Majelis Hakim Konstitusi untuk Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Tasya Nabila yang merupakan aktivis Lentera HAM Indonesia.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan kata ‘berjumlah’ dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘berjumlah paling tinggi’,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Senin (20/6/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sementara dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menilai pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang ditambah dalam UU HAM merupakan refleksi dari upaya menghadapi berbagai tuntutan perlindungan HAM yang semakin meningkat di era reformasi yang semula 25 (dua puluh lima) menjadi 35 (tiga puluh lima). Ditambahkannya jumlah anggota Komnas HAM seringkali dikaitkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang dinilai membutuhkan banyak anggota untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah adanya pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang menggunakan diksi atau kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang, tetapi secara faktual jumlah anggota Komnas HAM tidak pernah penuh terisi hingga 35 (tiga puluh lima) orang. Sebagai contoh, pada periode 2002-2007 berjumlah 23 orang anggota, pada periode 2007-2012 hanya berjumlah 11 orang.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Daniel menyebut, terutama fakta selama ini jumlah anggota Komnas HAM yang tidak pernah terisi penuh 35 (tiga puluh lima) orang, maka menurut Mahkamah pengaturan mengenai kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang tersebut menjadi tidak berkepastian hukum, sebab secara harfiah makna kata “berjumlah” mempunyai sifat imperatif yang harus dipenuhi, sementara fakta bahwa selama ini anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang tersebut tidak pernah dipenuhi dan hal tersebut dianggap pembenaran, maka hal ini justru semakin menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal norma Pasal 83 ayat (1) UU HAM mengatur secara imperatif anggota Komnas HAM karena menggunakan kata “berjumlah” bukan frasa “paling tinggi” 35 (tiga puluh lima) orang, karena faktanya ketentuan kata “berjumlah” yang menunjukkan sifat imperatif tidak pernah terpenuhi.
Daniel menyebut menurut Mahkamah untuk dapat memberi kepastian hukum yang adil, maka norma Pasal 83 ayat (1) UU HAM seharusnya tidak bersifat imperatif, namun bersifat fakultatif, sehingga ketika tidak dapat terpenuhi tidak melanggar norma imperatif tersebut. Meskipun demikian, penentuan besaran jumlah dalam norma undang-undang merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, namun dalam penentuannya harus memberikan kepastian hukum.
“Mahkamah untuk memberi kepastian hukum maka kata ‘berjumlah’ dalam Pasal 83 ayat (1) UU HAM dimaknai sebagai ‘berjumlah paling tinggi’. Dengan demikian, jika dalam pelaksanaannya Komnas HAM hanya beranggotakan 7 (tujuh) orang atau 9 (sembilan) orang sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon, tidaklah melanggar norma undang-undang. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai kata ‘berjumlah’ beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tegas Daniel.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Proses Seleksi Ketua dan Anggota Komnas HAM
Kebijakan Hukum Terbuka
Mahkamah juga mempertimbangkan terkait persoalan konstitusional mengenai pemilihan, pemberhentian Anggota Komnas HAM oleh DPR dengan tidak melibatkan Presiden yang para Pemohon dalilkan telah menciderai sistem presidensial di Indonesia. Menurut Mahkamah pengaturan yang tampak sangat DPR heavy dan meninggalkan peran kekuasaan eksekutif ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Komnas HAM. Daniel mengungkapkan bahwa Mahkamah dapat memahami pilihan pembuat kebijakan untuk memberikan kewenangan kepada DPR untuk memilih anggota Komnas HAM adalah karena DPR sebagai perwakilan rakyat yang merepresentasikan suara rakyat, sehingga untuk pemilihan anggota Komnas HAM dikembalikan kepada lembaga representasi rakyat.
Terlepas dari dalil para Pemohon mengenai pilihan sistem pemilihan anggota Komnas HAM yang tidak dapat menyeimbangkan kekuasaan DPR dan Presiden, Daniel menyebut menurut Mahkamah cara pemilihan anggota Komnas HAM merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk UU. Konstitusi tidak mengatur sistem dan tata cara pemilihan anggota komisi negara, sehingga konstitusi memberi keleluasaan kepada pembentuk UU untuk mengaturnya, menyesuaikan dengan dinamika perkembangan ketatanegaraan serta kehidupan sosial masyarakat.
“Keleluasaan ini yang disadari akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga pembentuk UU dapat membuat pilihan kebijakan yang efektif dan efisien. Pilihan kebijakan tersebut menjadi kebijakan hukum terbuka yang merupakan ranah pembentuk undang-undang sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, serta memiliki rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Daniel.
Baca juga: Pemohon Uji Materiil Aturan Seleksi Anggota Komnas HAM Perbaiki Permohonan
Prioritaskan Perubahan UU HAM
Kemudian, Daniel menyampaikan bahwa meski Mahkamah menyatakan Pasal 85 ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU HAM konstitusional, namun Mahkamah mempertimbangkan pentingnya untuk dilakukan pemantauan dan peninjauan terhadap UU HAM sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang pada pokoknya menyatakan pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dilaksanakan oleh DPR, Pemerintah, dan DPD yang hasilnya dapat menjadi usulan dalam penyusunan Prolegnas. Mahkamah juga menekankan agar pembentuk undang-undang dapat memprioritaskan proses perubahan atas UU HAM.
“Dengan demikian, materi yang terkait dengan seberapa besar anggota Komnas HAM yang rasional serta tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Komnas HAM yang merupakan kebijakan hukum terbuka ranah pembentuk undang-undang dapat dituangkan dalam materi muatan perubahan dimaksud,” ujar Daniel.
Selain itu, Mahkamah juga menegaskan bahwa dalam menentukan pilihan kebijakan mengubah UU HAM perlu pula memperhatikan tata cara seleksi/rekrutmen anggota Komnas HAM dengan nilai-nilai demokrasi berkeadilan yang berkembang di masyarakat, perkembangan dinamika politik ketatanegaraan dan menyesuaikan dengan model/proses pengisian anggota komisi negara lainnya dengan memperhatikan kekhasan Komnas HAM yang memiliki perbedaan dari komisi negara lain. Pilihan kebijakan yang diambil perlu mempertimbangkan risiko terjadinya pelanggaran ataupun penyalahgunaan pada tataran implementasi, sehingga tujuan untuk meningkatkan perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia dapat tercapai dan institusi Komnas HAM dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan efektif dan efisien.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan, para Pemohon mengatakan ketentuan Pasal 83 ayat (1) telah menciptakan ketidakpastian hukum yang diakibatkan munculnya ruang penafsiran yang beragam atas rumusannya khususnya sepanjang frasa “Anggota Komnas Ham berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang”. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Anggota Komnas HAM berjumlah sembilan orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Selain itu, para Pemohon juga menegaskan terhadap frasa “berdasarkan usulan Komnas HAM” jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Namun dalam pelaksanaannya, Andy melanjutkan, para Pemohon terganggu dengan adanya keberadaan pasal a quo yang seharusnya menurut UUD 1945 warga negara Indonesia diberikan kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan diberikan pengakukan yang sama dihadapan hukum dalam mengikuti proses pemilihan ketua dan/atau anggota Komnas HAM.
Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 83 ayat (1) mempunyai keterkaitan dengan ketentuan pasal-pasal yang diujikan oleh para Pemohon. Dengan situasi demikian, para Pemohon telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong terciptanya proses pemilihan secara transparan, jujur, dan adil menjadi terhambat dengan adanya pasal a quo. Atas dasar ini, para Pemohon beranggapan telah mengalami kerugian konstitusional akibat dari rumusan UU HAM.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 83 ayat (1), Pasal 85 ayat (1), Pasal 86 dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU HAM bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.