JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) karena telah mendapatkan authoritative sources yang kuat, yaitu berdasarkan Alinea Ketiga dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan 20 Pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK) berkenan memeriksa dan memutus dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Demikian ditegaskan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Syaeful Anwar saat menyampaikan keterangan MUI selaku Pihak Terkait dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Rabu (15/6/2022). Sidang Pleno Perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh E. Ramos Petege ini dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
MUI berpandangan, perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama. Perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari Pemohon tersebut membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial. Sebab perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama. Selain itu, sehubungan dengan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan yang dipersoalkan Pemohon, maka MUI melihat Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.
“Justru MUI berpandangan seharusnya bangsa Indonesia menghormati perjuangan pendahulu negara dalam membahas UU Perkawinan ini, yang pada saat penyusunannya sampai nyaris menimbulkan perpecahan negara,” tegas Syaeful menyikapi permohonan Pemohon yang mendalilkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Peran dan Fungsi MUI
Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Arovah Windiani menyebutkan, sebagai suatu badan hukum yang diakui secara sah, MUI berfungsi sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam, negara, dan pemerintah. Dengan demikian, MUI berperan sebagai pelayan umat dan mitra pemerintah dalam menjaga umat untuk penguatan negara. MUI hadir dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang terbaik, negara yang aman, adil, dan makmur.
“Oleh karena itu, MUI merupakan wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama. Oleh karenanya, permohonan ini jelas akan berpengaruh pada tugas pokok dan fungsi serta peran MUI,” sebut Arovah.
Dalam pandangan MUI, lanjut Arobvah, keinginan perkawinan beda agama sebagaimana didalilkan Pemohon dalam perkara ini merupakan kerugian yang bersifat potensial. Menurut MUI, Pemohon pada dasarnya tidak menyadari ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang ada. Sebab dalil “hendak melakukan perkawinan”, berarti perkawinan yang dimaksud belum terjadi sehingga MUI mempertanyakan perkawinan tersebut yang seharusnya dapat dibatalkan dan menilai alasan Pemohon adalah mengada-ada.
“Sementara adanya dalil HAM dan kebebasan beragama, MUI berpendapat alasan tersebut juga hanyalah bersifat potensial. Untuk itu, permohonan yang diajukan ini tidak memenuhi Peraturan MK sehingga MUI selaku Pihak Terkait memohon agar MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” jelas Arovah.
Mengesampingkan Ajaran Sakral
Selanjutnya, Anggota Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Helmi Al Djufri menyatakan negara mengatur ketentuan mengenai perkawinan semata-mata untuk menghormati hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing umat beragama di Indonesia. Perkawinan sejatinya wadah pertama dalam pembentukan keluarga, sehingga negara berperan menghormati hal tersebut. MUI berpandangan Pemohon keliru apabila menyatakan negara menghambat keinginan HAM Pemohon dengan tidak mengakui perkawinan beda agama. Sebaliknya, sambung Helmi, hal tersebut akan memunculkan dan menyebabkan terjadinya perkawinan beda agama secara masif di Indonesia yang mengesampingkan kesakralan hukum agama dari setiap agama yang ada di negara ini.
“Secara hukum di Indonesia, agama pun berperan dalam membentuk perundang-ndangan, maka sangat kontradiktif jika ajaran agama dibebaskan untuk mengesampingkan sakralitas ajaran agama. Sementara eksistensi MK adalah sebagai penjaga ideologi. Maka argumentasi Pemohon yang meminta pengesahan perkawinan beda agama ini, membuka peluang penyelundupan hukum bagi calon mempelai. Jadi, dalil ini bukan persoalan konstitusionalitas norma,” jelas Helmi.
Baca juga:
Gagal Nikah karena Beda Agama, Seorang Warga Uji UU Perkawinan
Pemohon Uji Ketentuan Perkawinan Beda Agama Kurangi Objek Pengujian
Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan DPR dan Pemerintah
Sebagai informasi, E. Ramos Petege (Pemohon) merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menuyatakan, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.