JAKARTA, HUMAS MKRI - Hak cipta terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral tersebut melekat pada diri si pencipta selamanya, namun hak ekonomi berupa hak yang diperkenankan memproduktifkan, mendistribusikan, melakukan pertunjukan atau peragaan atas karya cipta pencipta. Dengan demikian, hak ekonomi sejatinya dapat diperalihkan dan menjadi objek perdagangan. Oleh karenanya, dalam hukum ekonomi bisnis maka manfaat ekonomi ini dapat menjadi objek perdagangan dan hak ekonomi dari si pencipta tersebut dapat dialihkan pada orang lain.
Hal tersebut diungkapkan oleh Nindyo Pramono dalam sidang ketujuh pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (14/6/2022). Sidang perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh PT Musica Studios ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta delapan hakim konstitusi.
Lebih jelas Nindyo dalam kapasitasnya sebagai Ahli Pemohon mengatakan jika membaca Pasal 18 UU Hak Cipta terutama frasa “…dialihkan dalam perjanjian jual putus …” termuat salah satu cara agar hak cipta dan hak ekonomis dialihkan atau dijualbelikan pada orang lain dalam hal ini produser melalui jual putus, maka hal demikian pada hakikatnya sama dengan jual beli biasa. Dengan dibuatnya kesepakatan dalam perjanjian jual putus akan berlaku ketentuan UU Hak Cipta sehingga terdapat peralihan milik suatu ciptaan menjadi hak milik ekonomi dari pencipta ke produser.
“Jika pencipta memilih sistem jual beli putus maka harus dimaknai sebagai keadaan adanya peralihan hak ekonominya ke produser. Sehingga, produser layak dilindungi dan Pasal 18 UU Hak Cipta melanggar ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelas Nindyo yang merupakan Ahli Hukum Bisnis dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Secara sederhana Nindyo menyebutkan, berdasar konsep hukum jual beli, sebagai suatu perjanjiian (dalam hal in perjanjian jual beli putus) di dalamnya terdapat keseimbangan yang tidak diartikan sebagai keseimbangan matematis. Akan tetapi adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban penjual atau pembeli secara bertimbal balik, sehingga antara hak dan kewajiban kedua belah pihak ini harus berimbang. Apabila ketentuan norma pada UU Hak Cipta tidak diperbaiki, Nindyo melihat hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk dari ketidakseimbangan antara hak si pembeli dan hak si penjual, yakni pembeli adalah produser dan penjual adalah pencipta.
Hak Kepemilikan
Pada persidangan kali ini Pemohon juga menghadirkan ahli Fahri Bachmid. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia ini memberikan keterangan seputar pelanggaran hak konstitusional dalam perkara pengujian UU Hak Cipta tersebut. Sebagai badan hukum, Fahri melihat PT Musica Studios memiliki hak dan kewajiban serta perlindungan yang diperoleh dari negara. Sebab hak ekonomi yang terjadi dalam perjanjian jual beli putus tersebut berkaitan dengan pengalihan hak kepemilikan. Pada hakikatnya hak cipta berupa hak ekonomi tersebut dapat beralih sehingga harus pula dijamin atas dasar subjektif. Dengan demikian, ketentuan norma pada UU Hak Cipta yang diujikan pada perkara ini tidak sejalan dengan hak kepemilikan seseorang.
“Dalam hal ini keberlakukan norma ini mereduksi bahwa Pemohon sebagai pembeli dan pemilik hak ekonomi, tetapi dalam pemberlakuannya tidak ada pemulihan hak bagi pembeli tersebut pada saat hak ekonomi kembali pada pencipta. Sehingga hal ini tidak mendudukkan hal yang sama pada keduanya. Akibatnya dalam batas yang wajar, UU a quo setidaknya bertentangan dengan UUD 1945,” sebut Fahri.
Rugi 300 Milyar
Pada kesempatan ini, Pemohon juga menghadirkan seorang saksi yaitu Dirut PT Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asirindo) Jusak Irwan Sutiono. Dalam kesaksiannya, Jusak menceritakan proses pembuatan master rekaman hingga kompensasi atau royalti yang didapatkan oleh pencipta atau artis yang membawakan suatu lagu hasil ciptaan pencipta.
Jusak bercerita, pada tahap awal seorang produser mencari lagu bagi artis untuk kemudian dibuat sebuah rekaman. Guna mendapatkan sebuah lagu, produser akan menghubungi pencipta dan kemudian kedua pihak akan terikat pada perjanjian yang dapat dikategorikan dalam empat pilihan perjanjian. Pertama, perjanjian ciptaan dibayarkan satu kali atau jual beli secara flat. Artinya sesudah dibayarkan oleh produser, maka hak ekonomi atas ciptaan dan ekonominya beralih ke pembeli sepenuhnya sehingga ia tidak dapat menjual lagi kepada pihak lain. Kedua, ciptaan dibayarkan untuk satu master lagu. Artinya pencipta tidak mendapatkan royalti atas master lagu tersebut, tetapi ia dapat mengekploitasi pada pihak lain setelah melalui masa waktu tertentu. Ketiga, pencipta akan mendapatkan sejumlah pembayaran (fee) dengan sistem dibayar di muka dan mendapatkan royati setelah penjualan mencapai jumlah tertentu. Keempat, pencipta tidak dapat fee dibayar di muka, tetapi mendapat royalti.
“Adapun transaksi yang paling banyak adalah yang kedua, ciptaan dibayarkan satu kali untuk satu master lagu, maka si pencipta memilih itu karena dia masih bisa gunakan karyanya pada pihak-pihak lain di luar master tersebut,” cerita Jusak.
Selanjutnya setelah dapat lagu, lanjut Jusak, produser akan membuat perjanjian dengan artis dengan sistem pembayaran yang sama dengan sistem pada pencipta. Di antaranya artis mendapatkan pembayaran dengan sistem diterima di muka dan royalti setelah penjualan mencapai nilai tertentu, artis hanya mendapatkan royalti. Kebanyakan artis, sambung Jusak, memilih metode pertama. Sebab sistem pembayaran di muka tersebut dinilai tidak rumit dan para artis dapat memperoleh manfaat ekonomi di awal.
“Tapi di lapangan pada perjanjain soft flat, pencipta dan artis meminta bonus jika lagu itu hits yang bisa berbentuk uang dan benda. Jika artis popular, maka mereka minta royalti tambahan meski ada kontrak yang berlaku. Dengan adanya ketentuan Pasal 18 UU Hak Cipta ini, ada anggota Asirindo yang mengelola 78 perusahaan rekaman yang menggarap sekitar 30.000 lagu tetapi tidak dapat beredar karena adanya norma ini. Dari 30.000 lagu ini jika biaya rekamannya dari produksi, sewa studio 10.000 sehingga kerugian keuangan bisa mencapai sekitar 300 milyar sebelum pemanfaatan ekonomi yang akan berjalan ke depan,” kisah Jusak.
Baca juga:
PT Musica Studios Persoalkan Ketentuan Batas Waktu Hak Milik dalam UU Hak Cipta
PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta
DPR: Pencipta Seharusnya Mendapatkan Banyak Keuntungan Ekonomi
Piyu PADI Anggap Aturan Jangka Waktu Batas Hak Cipta Lindungi Pencipta Lagu
Hak Cipta di Mata Para Musisi
Marcell Siahaan: UU Hak Cipta Melindungi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan
Sebagai informasi, permohonan Nomor 63/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Hak Cipta dimohonkan oleh PT Musica Studios. Materi yang dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 18 UU Hak Cipta menyatakan, “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Kemudian Pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan, “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”
Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus. Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan kehilangan hak ekonomi atas berlakunya ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta. Dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, Pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut. Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.