BOGOR, HUMAS MKRI - Hari kedua Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Pengurus dan Anggota Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik), pada Selasa (14/6/2022). Kegiatan tersebut digelar secara daring dengan menghadirkan beberapa narasumber, yakni Fajar Laksono Soeroso (Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri), Agus Riwanto (Dosen FH UNS), dan Amzulian Rifai (Anggota KY).
Dalam sesi pertama hari kedua ini, Fajar Laksono menyampaikan materi mengenai Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Ia mengatakan MK menjadi pembicaraan yang seksi karena memang MK sejak kehadirannya sebagai sebuah peradilan konstitusi memang diwarnai banyak diskusi, perdebatan, dan lain-lainnya.
Menurut Fajar, dinamika ketatanegaraan menjadi sangat dinamis setelah adanya perubahan UUD 1945 terkhusus juga setelah kehadiran MK dalam sistem ketatanegaraan kita. “Menjadi sangat dinamis. Dulu hukum tata negara menjadi disiplin ilmu yang tidak dipilih oleh mahasiswa fakultas hukum karena cenderung statis. Tetapi setelah perubahan UUD setelah adanya MK hukum tata negara menjadi disiplin ilmu yang sangat menarik. Saat ini banyak peminatnya luar biasa,” ujarnya secara daring.
Dikatakan Fajar, tonggak sejarah kelahiran sebuah undang-undang yang kemudian dapat diuji terjadi pada 1803. “Kenapa undang-undang bisa diuji oleh pengadilan undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat itu menghasilkan undang-undang tetapi uu tersebut bisa diuji bahkan dipasalkan. Ini sejarahnya ini tonggak pertama,” jelasnya.
Lebih lanjut Fajar menjelaskan, sejarah pengujian konstitusional beranjak dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS atas kasus Marbury versus Madison pada 1803 saat MA Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall. Dalam kasus tersebut, kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
“Itulah cikal bakal kewenangan judicial review yang saat ini identik dengan kewenanganan MK. Para pengamat hukum mencatat 1803 tonggak sejarah UU bisa diuji oleh pengadilan. 1803 ini kasus Marbury vs Madison di Amerika,” ujar Fajar.
Selain itu, Fajar juga menjelaskan keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973).
ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin tersebut disanggah oleh Soepomo dengan beberapa alasan. Pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power). Kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji Undang-undang. Ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide pengujian undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
Baca juga: MK Gelar PPHKWN Bagi Pengurus dan Anggota GMNI
Konstitusi dan Konstitusionalisme
Sementara Hakim Konstitusi periode 2009 – 2014, Harjono menyampaikan materi mengenai Konstitusi dan Konstitusionalisme. Ia mengatakan di dalam konstitusi terdapat batasan tentang kekuasaan. “Tentang cara bagaimana konstitusi dibatasi itu dalam sistem di berbagai negara terdapat cara yang berbeda dan tidak jauh dari sejarahnya,” ujar Harjono yang hadir secara daring.
Dikatakan Harjono, dalam penyebutan konstitusi sebagai kontak sosial antara pemberi kekuaan dan mereka yang memberi kuasa. “Jadi antara mereka yang diberi kekuasaan dan kepada mereka yang memberi kekuasaan. Ini konsep-konsep kontrak sosial. Teori ini dapat memberikan paradigma mengenai sebuah konstitusi,” terangnya.
Selain itu, Harjono juga mengatakan konstitusi sebagai sebuah produk hukum dan tentang pembatasan kekuasaan demi untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Sebagai sebuah produk hukum, bahasannya adalah tentang bagaimana konstitusi tersebut dibentuk dan diubah. Sedangkan sebagai wadah bagi paham konstitusionalisme, bahasannya adalah mengenai materi muatan konstitusi serta bagaimana konstitusi menentukan pembatasan kekuasaan negara.
Dalam konteks Indonesia, Harjono menyebut konstitusi yang membentuk negara kesatuan yang berbentuk republik sebagaimana kita saksikan hari ini merupakan karya dari para pendiri negara. UUD 1945 dirancang pertama sekali oleh BPUPK dan dibahas lagi untuk disahkan menjadi konstitusi untuk pertama kalinya oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 merupakan kesepakatan para pendiri negara yang berasal dari berbagai latar belakang ilmu dan asal daerah. Dengan demikian, konstitusi tersebut dapat dikatakan lahir dari sebuah kompromi yang dilakukan dengan cara yang demokratis.
Pada kesempatan yang sama, Dosen UNS Agus Riwanto menyampaikan materi mengenai Sistem Penyelenggaraan Negara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai memberikan materi mengenai Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara menurut UUD NRI Tahun 1945.
Untuk informasi, kegiatan tersebut dihadiri sekitar 372 orang peserta secara daring. Kegiatan tersebut bertujuan dengan pertimbangan kader-kader GMNI memiliki peran strategis dalam memajukan bangsa Indonesia yang majemuk melalui peningkatan pemahaman nila-nilai Pancasila dan budaya sadar Konstitusi sekaligus peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara dan upaya konstitusional dalam memperjuangkan hak-hak konstitusional warga negara. Para peserta mendapatkan sejumlah materi mengenai Pancasila, Konstitusi, hak konstitusional warga negara, Mahkamah Konstitusi serta hukum acara pengujian undang-undang dari hakim konstitusi, pakar hukum tata negara, panitera pengganti MK, peneliti MK, hingga staf IT MK. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.