JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto secara resmi membuka Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (HKWN) Bagi Pengurus dan Anggota Pemuda Muhammadiyah pada Senin (6/6/2022) sore di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
“Pilihan frasa Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Pengurus dan Anggota Pemuda Muhammadiyah didasarkan pada pemikiran-pemikiran bahwa organisasi pemuda secara umum sebenarnya sudah paham mengenai hak-hak warga negara yang dijamin dalam Konstitusi,” ujar Aswanto dalam kata sambutannya.
Dikatakan Aswanto, sejak awal kita memahami pengertian hak-hak apa saja yang dijamin dalam UUD 1945. “Itulah sebabnya, kami memilih peningkatan pemahaman, bukan pemberian pemahaman. Peningkatan pemahaman yang kami maksud adalah berharap ada dialog antara narasumber dengan para peserta, sehingga kita bisa lebih meyakinkan kita dengan apa yang kita pahami selama ini tentang hak-hak konstitusional kita,” jelas Aswanto.
Tiga Konstitusi
Aswanto melanjutkan, di Indonesia ada tiga Konstitusi yang pernah berlaku dalam empat periode. Periode pertama, UUD 1945 yang diberlakukan sejak 18 Agustus 1945. Dalam perjalanannya, dengan dilakukan evaluasi-evaluasi, banyak hal yang belum ter-cover dalam UUD 1945 kala itu termasuk minimnya jaminan hak asasi manusia. Itulah sebabnya kemudian diganti dengan Konstitusi RIS 1949, meski setelah berjalan, masih banyak persoalan. Di antaranya mengenai tujuan negara dan bagaimana mewujudkan tujuan negara, siapa yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan negara.
Selanjutnya, kata Aswanto, Konstitusi RIS diganti dengan dengan UUD Sementara Tahun 1950. Banyak hal yang diperdebatkan oleh the founding fathers Indonesia. Oleh karena itu, pada 5 Juli 1959 tercetus Dekrit Presiden yang menggantikan UUD Sementara Tahun 1950 untuk kembali menggunakan UUD 1945.
“Salah satu yang menjadi perdebatan sangat sengit pada UUD Sementara Tahun 1950 adalah soal hak asasi manusia. Jaminan terhadap hak asasi manusia, terutama jaminan terhadap hak-hak kaum perempuan belum maksimal pada UUD Sementara Tahun 1950. Alhasil Presiden Soekarno memutuskan untuk kembali ke UUD 1945,” tegas Aswanto.
Sekian tahun berjalan, perdebatan terhadap Konstitusi Indonesia belum juga selesai, hingga kemudian dilakukan amendemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Saat amendemen UUD 1945 terlontar untuk membentuk lembaga negara baru yakni Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang diubah lagi menjadi UU Nomor 8 Tahun 2011, lalu diubah lagi menjadi UU Nomor 7 Tahun 2020.
“Mahkamah Konstitusi memiliki peran dan fungsi sebagai Penjaga Konstitusi, Penjaga Ideologi Pancasila, Penjaga Demokrasi, Penjaga Hak Asasi Manusia, bahkan sebagai Penafsir Terakhir Konstitusi. Fungsi-fungsi inilah yang diimplementasikan dalam UUD dan memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi,” ujar Aswanto.
Oleh sebab itu, lanjut Aswanto, dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan utama untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Kemudian Mahkamah Konstitusi berwenang memutus sengketa antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu presiden dan pemilu legislatif, serta wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan tambahan untuk memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah hingga terbentuk peradilan khusus untuk menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Peran Strategis Muhammadiyah
Plt. Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Imam Margono menyampaikan bahwa upaya untuk mengejawantahkan cita hukum yang demokratis menghendaki adanya tingkat kesadaran untuk berkonstitusi yang baik dari segenap warga negara. Setiap warga negara perlu memahami desain hak-hak konstitusional yang telah dijamin dalam Konstitusi, serta upaya konkret yang dapat ditempuh untuk mempertahankannnya.
“Adanya kesepakatan filosofis dan spirit untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap peradilan Konstitusi yang menjamin hak-hak konstitusional warga negara, mengilhami dan mendorong Mahkamah Konstitusi melalui Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi melaksanakan program peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara. Program yang melibatkan berbagai elemen dalam masyarakat,” papar Imam.
Dijadikannya Pemuda Muhammadiyah sebagai target group kegiatan ini, menurut Imam, karena Mahkamah Konstitusi meyakini peran strategis dari Muhammadiyah dalam peta sosial politik dan hukum di Indonesia. Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi agent of change yang Pancasilais yang tetap mengutamakan KeIndonesiaan dan Kebhinnekaan.
Kedudukan Sama
Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengucapkan terima kasih kepada MK yang mengajak para Pemuda Muhammadiyah berpartisipasi dalam Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Pengurus dan Anggota Pemuda Muhammadiyah.
“Bicara mengenai Indonesia dalam konteks sebuah negara, Konstitusi kita menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Itu mengandung pengertian bahwa semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa dan bernegara, semuanya berdasarkan atas hukum,” ucap Abdul Mu’ti.
Negara hukum, ungkap Abdul Mu’ti, adalah sebuah negara dimana Konstitusi menjadi dasar dan perangkat penting dalam memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya sebagaimana tertera dalam Konstitusi. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.