JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi pemateri pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan V kerja sama DPC Peradi Jakarta Barat dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Iblam pada Minggu (5/6/2022) secara daring. Dalam paparannya, Suhartoyo menerangkan empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK). Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).
“Karakter pengujian undang-undang bersifat volunter, artinya dalam pengujian undang-undang ada Pemohon, tetapi tidak ada Termohon. Sementara pemerintah dan DPR berperan sebagai pemberi keterangan,” jelas Suhartoyo.
Kemudian kewenangan MK memutus sengketa konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Lembaga negara dimaksud, misalnya MA, MPR, DPR, BPK, DPD.
Berikutnya, kewenangan MK memutus pembubaran partai politik (parpol). Pemohonnya adalah pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu. Sedangkankan Termohonnya adalah parpol yang diwakili pimpinan parpol dan dapat diwakili kuasa hukumnya.
Kewenangan MK berikutnya, memutus perselisihan hasil Pemilu presiden dan wakil Presiden. Suhartoyo menjelaskan, para pihak dalam perkara ini adalah pasangan calon presiden sebagai Pemohon, dan KPU sebagai Termohon. Kemudian ada Pihak Terkait dan Bawaslu. Sedangkan yang menjadi objek permohonan adalah penetapan perolehan hasil pemilu presiden dan wakil presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang memengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua pemilu presiden dan wakil presiden, serta terpilihnya pasangan calon sebagai presiden dan wakil presiden.
Berikutnya, sambung Suhartoyo, MK memiliki kewajiban memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonan mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Pemohon Pengujian UU
Lebih lanjut Suhartoyo menerangkan pihak-pihak mana saja yang dapat mengajukan sebagai Pemohon dalam perkara pengujian UU di persidangan MK. Mereka adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
“Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK,” jelas Suhartoyo yang juga menguraikan sistematika permohonan terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Pengujian Formil dan Materiil
Suhartoyo juga menerangkan, dalam pengujian undang-undang terhadap UUD terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian UU yang berkenaan dengan substansi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji UU ke MK, antara lain karena adanya hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya UU.
Tahap Persidangan
Suhartoyo melanjutkan materinya dengan menerangkan tahap persidangan pengujian UU, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu, ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan.
Dalam sidang pengujian UU tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian undang-undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon, Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait.
Tahap terakhir adalah sidang pengucapan putusan. Putusan MK dalam perkara pengujian UU, jelas Suhartoyo, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK. Selain itu Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara bersyarat.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.