Presiden didesak mengeluarkan Perppu Pengadilan Tipikor untuk mengantisipasi. Mengapa?
Pada Desember 2007, Ketua Tim Perumus Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), Romli Atmasasmita menyatakan telah menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor yang berjumlah 9 bab dan 44 pasal. Dengan terbentuknya UU tersebut, Romli mengatakan semua perkara korupsi akan ditangani oleh pengadilan tipikor, baik di tingkat pusat, ataupun daerah.
"Ini adalah pengadilan satu-satunya yang memeriksa kasus korupsi. Nantinya pengadilan ini akan tersebar baik di tingkat kabupaten/kota ataupun provinsi," tutur Romli.
Masih di bulan yang sama, Staf Ahli Presiden Bidang Hukum dan Pemberantasan KKN Sardan Malbun memprediksi RUU itu akan selesai dalam waktu 3 tahun. Waktu itu terbilang cukup untuk menentukan nasib Pengadilan Tipikor. Bahkan satu tahun bisa membuat undang-undang sebagai dasar hukumnya.
"Masih ada waktu 3 tahun untuk tetap menggunakan. Nah waktu selama itu bisa digunakan pemerintah untuk membahas apa yang akan menggantikan UU itu," katanya kala itu.
Dikatakannya, pemerintah sebenarnya telah menghargai apa yang sudah menjadi keputusan. Tapi keputusan itu tidak akan mengurangi komitmen pemerintah memberantas korupsi. "Ada beberapa alternatif lain untuk mengganti UU Tipikor," imbuhnya.
Akan tetapi nasib RUU Pengadilan Tipikor tidak jelas. Aturan yang memayungi institusi untuk mengadili para koruptor ini belum juga disahkan., Alamat pemberantasan korupsi terancam. "Sekarang kita masih mempersiapkan untuk menunggu persetujuan rapat kabinet," kata Menkum HAM Andi Matalatta, Senin pekan lalu.
Sesuai putusan MK, target waktu untuk membuat UU tersebut adalah pada 2009. Ini setelah UU tentang Pemberantasan Korupsi di-judicial review. Apakah optimis 2008 selesai? "Kalau untuk menyenangkan orang banyak bisa saja, tapi di DPR masih antra," lanjut Andi.
Bila RUU Pengadilan Tipikor tidak juga disahkan, maka sidang untuk kasus dugaan korupsi akan dilakukan di pengadilan-pengadilan umum. Ini akan berbahaya. Setidaknya, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sulit menjadi lembaga yang efektif dalam memberantas korupsi kalau Pengadilan Tipikor tidak dipertahankan. Sebab, kalau hasil penyidikan KPK disidangkan di Pengadilan Umum, makâ sebagian besar terdakwa bebas.
"Pengadilan umum masih tidak bisa diharapkan. Hakim-hakim karier sebagian besar tidak bersih," kata pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita Kamis pekan lalu.
Keterlambatan mulai tercium dengan berkembangnya wacana di DPR agar KPK dilikuidasi dengan tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor. Kalau tidak disahkan maka Pengadilan Tipikor dihapus. "Kalau dihapus maka kerja KPK sia-sia jika kasus-kasus disidangkan di Pengadilan Umum," kata dia.
Untuk itu, Romli mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar bersiap-siap mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pengadilan Tipikor.
Hal itu harus dilakukan Presiden untuk mengantisipasi tidak tuntasnya UU Pengadilan Tipikor sampai batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) kepada DPR dan pemerintah. "Kalau sampai Pengadilan Tipikor dihapus, yakinlah negara ini hancur," kata dia.
Senada dengan itu, pakar hukum pidana UI, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, keberadaan Pengadilan Tipikor harus tetap dipertahankan selama KPK masih ada. "Ya, alasannya sih karena kerjanya efektif dan hakim-hakim karier sedikit sekali yang bersih," katanya.
Romli menambahkan KPK dan Pengadilan Tipikor harus tetap ada selama Kejaksaan dan Polri belum efektif menangani korupsi. "Saya tegaskan, sampai sekarang Polri dan Kejaksaan belum efektif memberantas korupsi," kata dia.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Denny Indrayana, juga meminta Presiden agar bersiap-siap mengeluarkan Perppu Pengadilan Tipikor. "Presiden harus menyadari bahwa ada sebuah skenario besar di DPR agar UU Pengadilan Tipikor tidak terbentuk, maka dengan demikian KPK menjadi lemah. Presiden harus memisahkan diri dari skenario besar itu," tandasnya. LIAN PANGARIBUAN
Sumber: Majalah FORUM KEADILAN: No. 51, 28 APRIL 2008 hal. 84
Foto: djodiismanto.blogspot.com/2007