JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Demikian sidang pengucapan Putusan Nomor 2/PUU-XX/2022 yang digelar di MK pada Selasa (31/5/2022). Permohonan pengujian materiil UU Pilkada ini diajukan oleh Hardizal yang merupakan mantan terpidana narkotika.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan persyaratan calon diperlukan dalam sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah demi mewujudkan demokrasi yang esensial, yaitu demokrasi yang tidak hanya mendasarkan pada suara terbanyak tetapi yang memiliki esensi pada tujuan luhur untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera yang dipimpin oleh pemimpin yang berintegritas dan berkualitas yang dihasilkan dari proses pemilihan yang melibatkan rakyat yang dipimpinnya. Meskipun Mahkamah menganggap persyaratan bagi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah hal yang penting untuk menjadi seleksi awal, namun Mahkamah juga pernah memutus dalam putusannya bahwa syarat yang ditentukan UU tidak konstitusional dan harus diberikan pemaknaan.
Sejak Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, Mahkamah juga memaknai syarat tidak pernah dipidana ini beberapa kali dalam putusannya, terakhir dengan Putusan MK Nomor 56/PUUXVII/2019, tanggal 11 Desember 2019 yaitu calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memenuhi syarat (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Frasa “Pemakai Narkotika”
Mahkamah menyatakan frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada tersebut sebagai norma yang konstitusional, namun dalam pertimbangan hukumnya memberikan makna bahwa sifat tercela menjadi tidak tepat jika dilekatkan kepada: a. pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau b. mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
Kesempatan Mantan Terpidana
Lebih lanjut Suhartoyo membacakan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu terkait mantan terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih telah berpendirian bahwa mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan pelaku tindak pidana yang berulang-ulang.
Oleh karena itu, terhadap bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki kualifikasi sebagai mantan terpidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih, Mahkamah telah menegaskan dengan memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk dapat ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVIII/2019. Sebab, penilaian akhir terhadap calon mantan terpidana yang ikut kontestasi dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pilihan masyarakat/pemilih untuk menentukannya.
Pemberlakuan Syarat Calon Kepala Daerah
Berkenaan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada dan Penjelasannya, Mahkamah dalam Putusan Nomor 99/PUU-XVI/2018 juga telah mengecualikan pemberlakuan syarat tidak melakukan perbuatan tercela bagi pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan; atau mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban dan yang telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi.
“Oleh karena itu, yang bersangkutan jika memenuhi syarat-syarat lainnya dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa dikategorikan telah melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016,” kata Suhartoyo.
Dengan demikian, sambung Suhartoyo, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah bagaimana dengan mantan terpidana lain yang tidak tergolong ke dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada sebagaimana yang telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVIII/2019 dan mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana karena melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada seperti judi, mabuk, zina, dan pengedar narkotika, termasuk perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Apakah pelaku-pelaku tindak pidana ataupun perbuatan lain yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada yang telah dijatuhi pidana karena perbuatannya tersebut oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dianggap tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Syarat SKCK
Mahkamah juga mengatakan, syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan SKCK sesungguhnya hanyalah bersifat administratif untuk membuktikan bahwa seseorang pernah atau tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Namun, dalam hal ini apabila dikaitkan dengan semangat yang ada di dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada dan Penjelasannya, SKCK tersebut bukanlah merupakan satu-satunya parameter bahwa seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah subjek hukum yang mempunyai rekam jejak yang serta merta dapat disimpulkan tidak memenuhi syarat sebagai seorang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebab, bisa jadi seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada disebabkan karena adanya kelalaian atau kealpaan, di samping sifat dari perbuatannya yang sekalipun adalah tindak pidana akan tetapi bisa jadi adalah tergolong ringan/sedang dibandingkan dengan pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.
“Sehingga, menurut Mahkamah akan terjadi disparitas dalam perspektif keadilan hukum dan keadilan hak konstitusional apabila terhadap pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, sementara terhadap pelaku perbuatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan selesai menjalani masa pidana menjadi tertutup kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun syarat-syarat lain terpenuhi oleh yang bersangkutan,” lanjut Suhartoyo.
Untuk memenuhi adanya kepastian hukum dan rasa keadilan, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah selain memberi kesempatan yang sama bagi pelaku perbuatan tercela yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidananya untuk dapat mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga, sekalipun syarat melampirkan SKCK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada tetap diberlakukan kepada setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun apapun model ataupun format SKCK dimaksud, hal tersebut tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan untuk dapat ikut kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela sepanjang yang bersangkutan telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, serta sepanjang syarat-syarat lainnya terpenuhi. Dengan kata lain, bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah melakukan perbuatan yang melanggar Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan serta telah selesai menjalani masa pidana, maka harus dikecualikan untuk tidak dikenakan syarat SKCK yang masih dikaitkan dengan perbuatannya tersebut.
Informasi Jati Diri
Oleh karena syarat-syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuat secara ketat adalah untuk mendapatkan calon pemimpin daerah yang berintegritas, maka meskipun terhadap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dikarenakan melakukan perbuatan yang diatur dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pertimbangan pilihan diserahkan kepada para pemilihnya/masyarakat, namun hal tersebut tidak boleh menghilangkan informasi tentang jati diri masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga, sebagaimana juga diberlakukan untuk ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan informasi tentang jati diri secara lengkap terhadap masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka dalam memaknai Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada ini pun juga diwajibkan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, untuk secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, sebagaimana juga telah dipersyaratkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, yang telah dimaknai oleh Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Selain itu, Mahkamah juga menegaskan, penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk dalam hal ini pihak Kepolisian yang berwenang mengeluarkan SKCK, untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana yang dikehendaki dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada.
Alhasil, dalam amar putusan Mahkamah mengabulkan permohonan Hardizal untuk Sebagian. Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi pelaku perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan telah selesai menjalani masa pidananya, serta secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana”.
Baca juga:
Mantan Terpidana Narkoba Uji Syarat Pencalonan Kepala Daerah
Mantan Terpidana Narkotika Perbaiki Uji UU Pilkada
Sebelumnya, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (13/1/2022), Harli selaku kuasa hukum Hardizal (Pemohon) mengungkapkan bahwa Pemohon merupakan mantan terpidana narkotika yang telah menjalani hukuman serta pernah menjadi bakal calon kepala daerah Kota Sungai Penuh 2020. Pada masa pendaftaran bakal pasangan calon, Pemohon telah mendapat surat mandat sebagai bakal calon wakil walikota Sungai Penuh dari Partai PDI Perjuangan, PPP, dan Partai Berkarya. Kemudian pada akhir masa pendaftaran Pilkada tahun 2020, Partai Berkarya mencabut rekomendasinya dengan alasan Pemohon memiliki catatan kriminal sebagai pengguna Narkoba yang didasarkan pada SKCK. Oleh karena tidak memenuhi persyaratan calon akibat adanya Pembatalan Surat Rekomendasi, maka PDI Perjuangan dan PPP juga mengalihkan rekomendasi persetujuannya ke pasangan walikota Sungai Penuh yang lain. Adapun materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I UU Pilkada.
Menurut Pemohon, berlakunya Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menghalangi hak konstitusi Pemohon untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) yakni hak memilih dan hak dipilih (hak aktif dan hak pasif). Hak aktif sebagai calon dihilangkan dengan berlakunya ketentuan tersebut. Menurutnya, ketentuan tersebut diberlakukan secara akumulatif.
Lebih lanjut Harli menyebutkan, orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang sudah diadili dan dihukum masih bisa mencalonkan. Sementara pelaku tindak pidana penggunaan narkoba dihalangi seumur hidup haknya dengan kata lain tidak bisa hanya dengan keterangan SKCK.
Berlakunya ketentuan Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I, sambung Harli, menghilangkan kesempatan Pemohon untuk selamanya menjadi calon kepala daerah atau hak untuk dipilih. Harli meminta untuk hak pemohon diberlakukan sama dengan pelaku pidana korupsi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.