JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) yang dimohonkan oleh Sindi Enjelita Sitorus sebagai Pemohon I dan Hesti Br Ginting sebagai Pemohon II yang berprofesi sebagai mahasiswa. Putusan Nomor 41/PUU-XX/2022 dibacakan dalam sidang pengucapan putusan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar Putusan, Mengadili: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya dalam pengucapan putusan permohonan Perkara Nomor Nomor 41/PUU-XX/2022.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) PMK 2/2021, surat kuasa khusus dibubuhi meterai sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa. “Oleh karena surat kuasa yang diajukan para Pemohon tidak ditandatangani oleh pemberi kuasa, sehingga surat kuasa tersebut tidak memenuhi syarat formil surat kuasa maka surat kuasa tersebut cacat formil dan dengan sendirinya surat kuasa tersebut menjadi tidak sah. Terlebih secara substansial surat kuasa tersebut tidak memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menghadiri persidangan dan hal-hal prinsip yang terkait dengan hukum acara. Namun demikian, dikarenakan Pemohon prinsipal tetap hadir pada persidangan tanggal 14 April 2022 dan 11 Mei 2022, sehingga selanjutnya Mahkamah tetap memeriksa permohonan para Pemohon prinsipal,” terang Daniel.
Dikatakan Daniel, Mahkamah melihat adanya kerancuan pada bagian petitum yang bersifat kumulatif dan saling bertentangan, karena pada petitum angka 2, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pada petitum angka 3 memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang frasa “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” diubah menjadi “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, dengan memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan psikis: umpatan, penghinaan, pelabelan negatif, atau sikap dan gaya tubuh yang merendahkan, membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku”.
Menurut Mahkamah, sambung Daniel, petitum demikian justru menyulitkan bagi Mahkamah untuk memahami hal yang diinginkan oleh para Pemohon. Sebab, pada satu sisi para Pemohon memohon agar Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun pada sisi lain meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan terhadap Pasal 7 UU 23/2004 secara bersyarat. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif.
Terlebih lagi, sambungnya, berkenaan dengan permohonan tersebut, para Pemohon juga tidak melampirkan bukti salinan undang-undang yang dimohonkan pengujian dan salinan UUD 1945, padahal berdasarkan Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 12 ayat (5) PMK 2/2021 bahwa alat bukti yang diajukan terdiri atas sekurang-kurangnya: a. salinan undang-undang atau Perppu, setidak-tidaknya bagian atau bab yang dimohonkan pengujian termasuk halaman depan dan halaman yang memuat tanggal pengundangan dari salinan undang-undang atau Perppu; b. salinan UUD 1945. Sehingga, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka permohonan tersebut tidak jelas (kabur).
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon, namun oleh karena permohonan para Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut,”tegas Daniel.
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Leonardo Siahaan selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan Pasal 7 tidak memberikan ketentuan yang jelas seperti apa bentuk kekerasan psikis yang dimaksud sehingga dapat menjadi suatu penafsiran yang akan menimbulkan perdebatan. Selain itu hal ini akan menimbulkan kerugian secara konstitusi yang akan dialami oleh para Pemohon.
Lebih lanjut ia menyebut, Pasal 7 UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) UU KDRT tidak mempunyai tolok ukur yang jelas seperti apa kekerasan psikis termasuk bentuk-bentuk kekerasan psikis ini mengakibatkan posisi perempuan yang rentan untuk digugat dan kriminalisasi terhadap perempuan untuk menjadi pelaku dalam konteks kekerasan psikis. Menurutnya, ketidak jelasan inilah yang menimbulkan kekhawatiran para Pemohon apabila nantinya memiliki kasus yang sama seperti dalam kasus contoh diatas, Valencya melakukannya bukan sebagai bentuk kesengajaan melainkan hanya spontanitas dan tidak bermaksud untuk menyerang psikis korban.
Sedangkan dalam kasus kekerasan psikis sesungguhnya kata-kata yang merendahkan martabat dan menghina berdampak serius apabila dilakukan secara terus menerus. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bertentangan dengan UUD 1945 dan konstitusion bersyarat sepanjang ditambahkan frasa “bentuk-bentuk kekerasan psikis: ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan, penghinaan, pelabelan negatif atau sikap dan gaya tubuh merendahkan disertai adanya keterangan mengenai kondisi psikologis seseorang korban kekerasan psikis”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.