JAKARTA, HUMAS MKRI - Hukum acara Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan kewenangan menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) dan ketika MK menjalankan kewenangan lainnya sedikit berbeda. Demikian disampaikan Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Adokat (PKPA) Hari ke-X Angkatan V, yang diselenggarakan oleh DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bekerja sama dengan Universitas Pamulang (Unpam), pada Senin (30/5/2022).
Suhartoyo yang hadir secara daring mengatakan, terdapat karakteristik yang berbeda antara kewenangan MK yang satu dengan yang lainnya. Suhartoyo menjelaskan, kewenangan MK dalam pengujian UU terhadap UUD tidak terdapat sengketa yang berkaitan dengan para pihak.
Lebih lanjut Suhartoyo menjelaskan, dalam persidangan pengujian UU terdapat Pemohon dan tidak ada Termohon. “Jadi, berbeda dengan ketika MK menjalankan kewenangan yang lain dalam memutus sengketa kewenangan lembaga, pembubaran partai politik, sengketa pilpres, pileg dan pilkada sekalipun termasuk dalam impeachment, semuanya ada pihak Pemohon dan pihak Termohon. Tetapi dalam pengujian undang-undang tidak ditemukan adanya pihak Termohon. Itu mungkin sejarahnya yang dinamakan ‘permohonan’ bukan ‘gugatan’. Kemudian kewenangan yang lain pun akhirnya juga sebutannya permohonan, padahal ada sengketa pihak secara langsung dalam kewenangan yang lain,” jelas Suhartoyo.
Model Pengujian UU
Dikatakan Suhartoyo, dalam pengujian UU terhadap UUD terdapat dua model pengujian yakni pengujian formi dan pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Sementara pengujian materiil yaitu pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
“Jadi kalau bapak ibu mengajukan pengujian di MK berkaitan adanya dugaan pembentukan undang-undang yang cacat hukum, cacat prosedur maka dilakukan pengujian formil, tetapi jika berkaitan dengan materinya isi undang-undangnya itu pengujiannya materiil,” tegas Suhartoyo.
Pengujian formil apabila dikabulkan nantinya seluruh undang-undang yang ada menjadi cacat formal, tidak memilik kekuatan hukum mengikat, dan batal demi hukum. Pengujian materiil apabila dikabulkan maka yang tidak memiliki kekuatan hukum adalah bagian yang dilakukan pengujiannya atau bagian yang dikabulkan saja.
Selain itu Suhartoyo menegaskan, pengujian formil dapat diajukan dalam tenggang waktu 45 hari sejak UU tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara. Sedangkan pengujian materiil tidak dibatasi waktu.
“Jadi, sampai sekarang UU yang sudah lama pun masih banyak yang dilakukan pengujian materiilnya, termasuk KUHP yang diresmikan pada 1946 setelah Indonesia merdeka pun sampai hari ini masih saja ada yang mengujikan,” ungkap Suhartoyo.
Pada kesempatan yang sama Suhartoyo juga menjelaskan pemberian kuasa dalam beracara di MK. Pemberi kuasa dapat diwakili pejabat yang ditunjuk atau kuasanya. “Kuasa hukum yang beracara di MK tidak harus advokat,” ujar Suhartoyo.
Selain dapat menunjuk kuasa hukum, Suhartoyo melanjutkan, Pemohon dan/atau Termohon dapat didampingi oleh pendamping dengan membuat surat keterangan khusus untuk itu yang diserahkan kepada Hakim Konstitusi di dalam persidangan.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.