SALATIGA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menggelar Kuliah Umum yang bertajuk “Tantangan Hukum Konstitusi di Masa Pandemi Covid-19“. Kegiatan berlangsung di ruang Aula FH UKSW, Salatiga, Jawa Tengah, pada Jumat (27/5). Dua hakim konstitusi menjadi narasumber kuliah umum ini, yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyampaikan materi berjudul “Peran Mahkamah Konstitusi Melindungi Hak Konstitusional Warga Negara di Masa Pandemi”. Mengawali paparannya Daniel mengatakan menyambut baik dan undangan dari FH UKSW karena beberapa hal. Pertama, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi berskala global. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana non-alam nasional dan mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terkait kebijakan dan stabilitas keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19.
Kedua, MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the Constitution) memiliki peran signifikan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, baik dalam kondisi normal maupun situasi darurat. “Oleh karenanya, penting bagi MK untuk menjaga tatanan bernegara di masa pandemi agar senantiasa bersesuaian dengan kehendak UUD 1945,” kata Daniel.
Ketiga, lanjut Daniel, MK mengemban misi untuk meningkatkan kesadaran berkonstitusi warga negara dan penyelenggara negara. Saya meyakini Kuliah Umum hari ini merupakan bagian dari upaya sosialisasi hak-hak konstitusional dalam UUD 1945 dan diseminasi putusan MK guna meningkatkan kesadaran berkonstitusi warga negara, khususnya bagi sivitas akademika, tenaga pengajar, dan para mahasiswa/i FH UKSW.
Constitutional Dualism
Daniel juga mengatakan, secara doktriner, pembedaan hukum tata negara normal dan hukum tata negara darurat dikenal sebagai “Constitutional dualism” yang dikemukakan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino dalam The Law of the Expection: A Typology of Emergency Power (2004) yang menyatakan, “the notion that there should be provisions for two legal systems, one that operates in normal circumstances to protect rights and liberties, and another that is suited to dealing with emergency circumstances”.
Inti dari pendapat John Ferejohn dan Pasquale Pasquino bahwa dalam dualisme konstitusional harus ada ketentuan yang mengatur dua sistem hukum yang berbeda, yaitu sistem hukum yang berlaku untuk keadaan normal yang melindungi hak-hak dan kebebasan dan keadaan yang bersifat darurat.
“Saya angkat sedikit bagian constitutional dualism ini dalam disertasi yang sudah saya bukukan, yang mana di Indonesia juga ada hukum tata negara biasa dan normal, dalam kaitan pembentukan UU dan Perpu. Dalam keadaan normal UU diatur oleh DPR yang berhak memiliki kewenangan membentuk UU dan Presiden, dan DPD berhak mengajukan rancangan UU terkait kewenangannya. Sementara dalam keadaan darurat atau bahaya. Kewenangan diberikan kepada Presiden yang berhak menetapkan Peraturan pemerintah sebagai peraturan undang-undang,” papar Daniel.
Daniel mengungkapkan, di masa pandemi MK melakukan persidangan jarak jauh dan dengan sistem hybrid. Tentu saja dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, di antaranya, para pihak yang hadir secara langsung di persidangan dibatasi, wajib menunjukkan surat keterangan swab antigen, wajib memakai masker dan face shield selama mengikuti sidang dan/atau berada di Gedung MK.
Dampak Covid-19
Narasumber selanjutnya, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul yang membuka pemaparan seputar proses terjadinya perubahan UUD 1945 yang diawali gerakan reformasi. “Tujuan dalam reformasi itu ingin adanya keseimbangan antar lembaga negara yaitu check and balances,” kata Manahan.
Berikutnya Manahan memaparkan situasi selama pandemi Covid-19 dan dampaknya di Indonesia. Covid-19 yang awalnya merupakan tragedi kesehatan menjadi tragedi sosial masyarakat dan selanjutnya merambat ke aspek ekonomi yang riskan memicu terjadinya krisis. Pandemi Covid-19 telah menghentikan berbagai aktifitas sosial, bisnis dan kegiatan ekonomi. Pandemi Covid-19 memberikan efek domino pada aspek sosial ekonomi dan keuangan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor usaha.
“Secara perlahan saat ini kita mencoba kembali bangkit,” kata Manahan dalam kuliah umum yang dihadiri oleh Dekan FH UKSW Marihot Janpieter Hutajulu, para dosen dan mahasiswa.
Manahan juga menjelaskan putusan MK dalam pengujian Perpu terkait dengan keadaan darurat/kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dalam putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 MK berpandangan dapat menguji Perpu. Pertimbangan MK adalah pembuatan Perpu memang di tangan Presiden. Artinya tergantung pada penilaian subjektif Presiden. Namun demikian tidak berarti secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai paramater adanya kegentingan yang memaksa. Dengan demikian, Perpu diperlukan apabila, pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kedaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Penulis: Panji Erawan.
Editor: Nur R.