YOGYAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi bekerja sama dengan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan kuliah umum bagi mahasiswa Program Magister FH UII. Kegiatan yang dihadiri oleh dua hakim konstitusi, yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra tersebut berlangsung pada Jumat, (27/5/2022) di Aula Gedung FH UII, Kampus Terpadu UII, Sleman, D.I. Yogyakarta.
Dalam kegiatan yang mengangkat tema “Mahkamah Konstitusi dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia”, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan banyak kewenangan MK yang terbentuk karena putusan MK sendiri. “Seperti menguji Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang, karena substansinya sama seperti undang-undang,” ujarnya.
Terhadap putusan MK tersebut, Suhartoyo mengungkapkan, hakim konstitusi tidak sepenuhnya sepakat, namun karena telah diputus dalam sidang pleno MK untuk pengucapan, maka putusan tersebut harus ditaati. Ia mencontohkan Putusan MK lainnya yang berdampak pada dinamika ketatanegaraan adalah kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah.
“Tidak hanya itu, demikian pula dalam sengketa hasil pemilihan kepala daerah, jika sebelumnya MK dibatasi oleh ambang batas selisih suara, maka dalam beberapa putusannya MK mengesampingkan aturan itu jika terdapat pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif karena berpengaruh terhadap selisih suara antarpasangan calon,” jelas Suhartoyo.
Menanggapi pertanyaan mengenai pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik kandung presiden, Suhartoyo menegaskan bahwa dalam perkara pengujian undang-undang dan pemakzulan presiden, pernikahan tersebut tidak berpengaruh jika dibentengi oleh integritas dan independensi. “Di sisi lain kita tidak bisa masuk ke dalam wilayah pribadi Ketua MK,” ucapnya.
Selain itu, Suhartoyo juga menjelaskan pengambilan putusan tidak hanya dilakukan oleh satu hakim konstitusi semata, melainkan oleh sembilan orang hakim. Dalam proses pengambilan putusan tersebut bahkan selalu terjadi perdebatan di antara para hakim konstitusi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang mencontohkan sosok Hakim Agung AS John Marshall. Kala menjadi Ketua MA AS, Marshall diketahui masih memiliki hubungan keluarga dengan presiden AS saat itu dan justru ketika menjadi Ketua MA semakin independen. Menurut Saldi, pernikahan Ketua MK merupakan ranah pribadi yang tidak bisa dimasuki oleh siapa pun.
Berikutnya, Saldi memaparkan bahwa dalam membuat putusan terjadi perdebatan, diskusi yang panjang dan tidak sederhana. “Bahkan dalam perkara pengujian batas usia pernikahan, para Hakim Konstitusi membutuhkan dua puluh kali RPH untuk membuat putusan,” ujarnya.
Saldi juga berpesan kepada para mahasiswa hukum saat ini untuk tidak berhenti mempelajari norma dalam peraturan perundang-undangan. “Sejak sekarang harus dimulai untuk membaca putusan pengadilan, khususnya putusan MK, karena banyak norma yang berubah akibat putusan pengadilan,” kata Guru Besar Universitas Andalas tersebut.
Apalagi, lanjut Saldi, saat ini sumber hukum tidak hanya berasal dari undang-undang, tetapi juga putusan pengadilan, termasuk putusan MK. “Di samping itu, MK pun juga bisa berubah pendiriannya terhadap suatu norma, dan hal itu mungkin terjadi, dan pertimbangan pengadilan yang harus dibaca oleh akademisi mengapa pengadilan mengubah pendiriannya,” jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Dekan FH UII Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni, Muntoha, dalam sambutannya mengatakan semenjak MK berdiri, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara menjadi lebih hidup. Menurut Muntoha, dengan kehadiran MK membuat kajian HTN/HAN tidak hanya mengkaji teks, tetapi juga perkara demi perkara. Kegiatan kuliah umum ini juga dihadiri oleh mahasiswa program sarjana FH UII.(*)
Penulis: Ilham M.W.
Editor: Lulu Anjarsari P.