SURAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber dalam kuliah umum “Mahkamah Konstitusi Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia”, pada Rabu (25/5/2022) di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Kegiatan ini merupakan kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dan FH UMS.
Dalam kegiatan tersebut, Suhartoyo memaparkan kewenangan MK yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Suhartoyo yang hadir secara langsung.
Selain itu, MK memiliki wewenang tambahan Pasca Putusan No. 97/PUU-XI/2013 yang kemudian melahirkan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang kewenangan MK dalam memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Seiring berjalannya waktu, sambung Suhartoyo, kewenangan MK mengalami perubahan-perubahan di luar dari yang diturunkan oleh UUD 1945. “Sekarang MK sudah bisa mengadili perpu,” terang Suhartoyo.
Lebih lanjut Suhartoyo juga menjelaskan kewenangan MK dalam pengujian undang-undang yakni pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materii. Sedangkan pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Varian Pendapat
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan MK berbeda dengan pengadian lainnya. “Kalau di MK sembilan hakim berada dalam satu panel yang sama. Jadi apapun yang akan diputuskan oleh MK itu harus hasil pembahasan oleh sembilan hakim. Kalau di pengadilan biasa ada tiga orang (hakim). Kalau ada yang luar biasa bisa lima (hakim). Artinya apa, Kalau tiga orang itu mencari titik akhir menjadi lebih sederhana dibandingkan sembilan orang. Atau lima orang menjadi lebih sederhana mencari titik akhir dibandingkan sembilan orang,” jelas Saldi.
Hal tersebut kata Saldi, menimbulkan banyak pendapat yang berbeda dari masing-masing hakim. Kalau di pengadilan biasa paling banyak tiga varian pendapat karena ada tiga orang hakim. Sedangkan kalau di MK, kemungkinan ada sembilan varian pendapat hakim. Kemudian didiskusikan berulang-ulang hingga akhirnya bermuara kepada putusan.
“Kalau pada awal terdapat sembilan varian kita bisa membayangkan betapa banyak waktu diperlukan sampai ke varian selanjutnya. Sehingga kemudian ada pendapat mayoritas hakim yang dapat dijadikan pendapat MK, mayoritasnya bisa lima,” ujar Saldi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.