JAKARTA, HUMAS MKRI - Zonasi dalam rencana tata ruang menggambarkan peruntukan di masa depan yang harus memberikan kepastian bagi pihak yang mendapatkan ruang. Sehingga zonasi peruntukan dalam tata ruang telah mencerminkan aspirasi dan kesepakatan antar berbagai macam kepentingan, sektor, sinergi maupun kebijakan.
Demikian disampaikan oleh Putu Gde Ariastita selaku ahli yang dihadirkan Presiden dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Selasa (24/5/2022) siang.
Putu Gde yang juga merupakan Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember, lebih lanjut mengatakan zonasi memberikan kepastian dan kekuatan hukum dalam pengelolaan sumber daya. “Perubahan-perubahan zonasi yang tidak periodik menurut kami akan memberikan indikasi ketidakpastian tersebut dalam pemanfaatan tata ruang,” kata Putu Gde.
Terkait dengan peninjauan kembali rencana tata ruang, Putu Gde menegaskan rencana tata ruang memang dapat dilakukan peninjauan kembali sesuai dengan regulasi yang berlaku. Peninjauan kembali ini bisa saja merekomendasikan untuk merevisi rencana tata ruang namun ketika rencana tata ruang tersebut direkomendasikan untuk direvisi maka proses dan prosedurnya akan sama seperti penyusunan tata ruang.
“Sehingga proses pada proses revisi tata ruang sangat dimungkinkan agar aktivitas-aktivitas yang telah memiliki perizinan masih berlaku masa izinnya dan tidak menimbulkan masalah dalam lingkungan serta tetap diakomodasi yang bersesuaian. Hal ini pernah kami alami pada saat ini kami sedang menyusun rencana zonasi pulau-pulau kecil Jawa Timur dan kejadian sudah berlaku tetap diakomodasi bersesuaian dengan tata ruang,” tambah Putu Gde.
Putu Gde juga menjelaskan, salah satu pemanfaatan tata ruang yang diakomodasi dalam zonasi rencana tata ruang adalah kegiatan yang telah mendapatkan izin dari sebelumnya. Artinya kegiatan-kegiatan yang sudah mendapatkan izin atau program-program formal dalam kebijakan-kebijakan tertentu itu dapat diakomodasi di dalam zonasi rencana tata ruang.
“Kegiatan yang telah mendapatkan izin berarti telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan telah mengantisipasi pengambilan dampak yang telah ditimbulkan. Kegiatan yang telah memiliki izin perlu dijamin kelangsungan usahanya oleh rencana tata ruang melalui zonasi yang bersesuaian. Apabila kegiatan tersebut telah memiliki izin tersebut dikemudian hari dicabut maka perlu evaluasi pelaksanaannya izin dulu bukan evaluasi pada zonasinya,” terangnya.
Putu Gde juga menegaskan, IUP, IUPK, IPR, adalah kawasan yang menampung aktivitas pertambangan yang telah memiliki legitimasi hukum dalam bentuk perizinan maka keberadaannya perlu dihormati dan dijamin keberlanjutan pelaksanaannya dalam tata ruang.
Perubahan Regulasi Kehutanan
Persidangan kali ini juga mendengar keterangan saksi yang dihadirkan oleh Presiden, Dolok Robert Silaban yang merupakan Direktur Pengembangan Usaha Antam. Robert menyatakan Pasal 17A UU Minerba pada pokoknya memberikan kepastian hukum bagi usaha pertambangan yang pada umunya merupakan investasi jangka panjang, akan tetapi selama ini sering terjadi perubahan regulasi di sektor kehutanan.
“Kami memberikan sebagai contoh adalah terkait dengan IUP Emas PT Antam Tbk di Jawa Barat sebelum tahun 2013 kami memiliki persetujuan minjam kawasan hutan yakni kurang lebih 95.000 hektar. Namun setelah adanya beberapa perubahan kawasan hutan yakni di antaranya di tahun 2013 terjadi perubahan, kami kehilangan 22,38 hektar. Pada tahun 2016 yang lalu juga akibat adanya perubahan kawasan hutan ini dalam rangka mengakomodir fasilitas yang masuk ke dalam kawasan hutan maka perusahaan PT. Antam Tbk harus kembali mengajukan permohonan PPKH ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Dan untuk itu kami memperoleh tambahan sebesar 66 hektar. Namun dikarenakan adanya aturan buffer zone di daerah tersebut wilayah tersebut yang masih mengandung potensi emas tidak dapat kami tambang seluruhnya,” urainya.
Baca juga:
Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Pemerintah: Perubahan UU Minerba untuk Perbaiki Sektor Pertambangan
Ahli: UU Minerba Kriminalisasi Pembela HAM
Ahli: Pengelolaan Pertambangan oleh Pemerintah Pusat adalah Kemunduran
Saksi Terangkan Dampak Hilangnya Kewenangan Pemda dalam UU Minerba
Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Kewenangan Minerba Tetap Terbuka
Pemerintah Hadirkan Ahli dan Saksi dalam Sidang Uji UU Minerba
Untuk diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materi UU Minerba dan UU Cipta Kerja tersebut diajukan oleh 4 (empat) Pemohon, yaitu Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Para Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Materi yang diujikan yakni Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja. Kemudian, Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba.
Para Pemohon menilai Pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Menurut para Pemohon, penghapusan frasa “dan/atau pemerintah daerah’’ dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU a quo telah merendahkan harga diri masyarakat daerah akibat terbatas atau hilangnya ruang partisipasi yang bermartabat bagi mereka dalam ikut menentukan masa depannya, serta berpotensi memandulkan daya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat di daerah, melemahkan tanggung jawab daerah dalam membangun wilayah dan masyarakatnya. Akhirnya semua tergantung pada perhatian dan “anugerah” pemerintah pusat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.