JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/5/2022). Permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 61/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Octolin H Hutagalung dan 11 Pemohon lainnya.
Pasal 54 KUHAP yang menjadi objek pengujian para Pemohon yang berprofesi sebagai advokat. Pasal a quo berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Para Pemohon diwakili oleh kuasa hukum Janses E Sihaloho yang menyampaikan pokok-pokok permohonan secara daring. Para Pemohon beranggapan bahwa dalam proses perkara pidana, advokat sering dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang, baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka maupun terdakwa.
“Namun hak-hak seorang advokat untuk menjalankan profesinya seringkali dihalangi oleh aparat penegak hukum akibat menginterpretasikan Pasal 54 KUHAP secara berbeda-beda, termasuk di internal aparat penegak hukum itu sendiri,” kata Jansen kepada Panel Hakim MK yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesinya, mengingat tidak adanya ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Para Pemohon mendalilkan, dalam tahapan penyelidikan/penyidikan sebagai bagian dari tahap pra judikasi, saksi dapat berperan menentukan suatu perkara pidana benar telah terjadi atau tidak. Inti dari kegiatan penyidikan adalah pengumpulan alat bukti untuk memastikan beberapa hal, di antaranya menentukan perbuatan yang diperiksa sebagai perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidanda, menentukan siapa pelaku tindak pidana, menentukan telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka dan lainnya.
Namun dalam praktiknya, ungkap para Pemohon, pihak penyelidik atau penyidik seringkali melarang penasihat hukum untuk ikut serta mendampingi kliennya, hanya sebatas mendengarkan jalannya pemeriksaan atau dalam arti pasif. Bila penasihat hukum banyak memberikan komentar maupun saran terkait pemeriksaan kliennya sebagai saksi, maka penyidik segera menegur dan bahkan mempersilahkan penasihat hukum keluar dari ruang pemeriksaan.
Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 KUHAP Konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa.
Tidak Dikenal Uji Materiil Tafsir
Terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mencermati dalam Kewenangan Mahkamah disebutkan adanya uji materiil tafsir terhadap KUHAP. “Uji materiil tafsir tidak dikenal dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU MK yang terbaru. Hanya dikenal permohonan uji formil atau uji materiil,” kata Arief.
Selannjutnya Arief meminta para Pemohon lebih menjelaskan pertentangan antara norma yang diuji dengan Konstitusi. “UUD 1945 yang menjadi tolok ukur atau batu uji pengujian, apakah Pasal 54 KUHAP bertentangan atau tidak dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjadi batu uji. Itu yang harus dipahami. Kemudian agar bisa diberikan legal standing, apakah para Pemohon ini tersangka atau terdakwa? Tersangka dan terdakwalah yang mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan. Bisa aja advokat diberikan legal standing, kalau advokat itu langsung menjadi tersangka atau terdakwa. Oleh sebab itu harus diuraikan secara cermat, para Pemohon punya legal standing atau tidak,” tegas Arief.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan permohonan para Pemohon cukup panjang, terkesan seperti disertasi. “Walaupun ada halaman yang memuat petitum tidak termuat,” ucap Daniel. Kemudian Daniel menasehati para Pemohon agar mempelajari sistematika permohonan seperti termuat dalam Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Mulai dari Identitas Pemohon sampai Petitum.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai permohonan para Pemohon terlalu tebal, yang ternyata memiliki banyak lampiran undang-undang dan surat kuasa. “Sebenarnya beracara di MK sama di peradilan lain. Semangatnya adalah sederhana, cepat, dan biaya ringan. Oleh sebab itu sebenarnya Pemohon bisa menyederhanakan permohonan sesuai yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi,” tandas Suhartoyo.
Panel Hakim Konstitusi memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan. Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 6 Juni 2022. (*)
Penulis : Nano Tresna A.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim