JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap UUD 1945 pada Senin (23/5/2022). Permohonan diajukan Ignatius Supriyadi yang mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan Nomor 56/PUU-XX/2022.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Pemohon menjelaskan perbaikan permohonan sesuai dengan nasihat panel hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan. Di antaranya perbaikan mengenai penulisan pasal, kewenangan Mahkamah.
“Kesimpulan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi kami ubah juga posisinya,” kata Ignatius.
Ignatius juga menambahkan batu uji yakni Pasal 24 ayat (1) UU 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman yang bebas dan mandiri. Kemudian, tambahan juga tedapat pada legal standing mengenai kemungkinan adanya konflik kepentingan antara KY dan MK.
“Mengingat KY merupakan lembaga negara yang dapat saja menjadi pihak dalam sengketa antar lembaga yang mana apabila terjadi sengketa konflik kepentingan ini tidak dicegah dalam hal ini harus dibatalkan ketentuan yang tadi kami sebutkan tentunya akan menimbulkan ketidakpastian dan kalau kita tidak berharap dari KY untuk mengajukan judicial review sepertinya tidak akan terjadi dengan demikian legal standing kami terpenuhi karena kami sebagai warga negara peduli terhadap kondisi seperti ini,” tegas Ignatius.
Baca juga:
Seorang Advokat Mempersoalkan Unsur KY dalam Keanggotaan Majelis Kehormatan MK
Sebagai informasi, permohonan Nomor 56/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Ignatius Supriyadi. Adapun norma yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 1 Angka 10 UU MK yang memuat Pasal 27A ayat (2) huruf b, yang menyatakan, “Ketentuan huruf c ayat (2) Pasal 27A diubah, huruf d dan huruf e ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Pasal 27A dihapus sehingga Pasal 27A berbunyi sebagai berikut: Pasal 27A (1) Mahkamah Konstitusi wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan. (2) Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas: a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum; d. dihapus; dan e. dihapus.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (09/5/2022) Pemohon mengatakan ketentuan UU MK yang masih melibatkan peranan Komisi Yudisial (KY) dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bertentangan dengan kepastian hukum. Bahkan dalam putusan MK sebelumnya telah dikatakan bahwa KY tidak memiliki peranan atau keterlibatan dalam MK.
“KY itu merupakan lembaga lain yang dalam pembentukannya berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 itu tidak memiliki ketersinggungan dengan MK. Sehingga kalau anggota KY masih diikutkan dalam peranan menjadi anggota Majelis Kehormatan MK maka itu bertentangan dengan putusan-putusan MK sebelumnya dan juga tentunya bertentangan dengan original intent pembentukan Pasal 24B 1945,” ujar Ignatius secara daring.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.