JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi pemateri dalam kuliah umum yang digelar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) pada Sabtu (21/5/202) di Medan. Dalam kegiatan yang digelar di Auditorium FH UMSU ini, Wahiduddin memilih pokok bahasan mengenai “Konstitusi, Hak Konstitusional, dan Mahkamah Konstitusi.”
Mengawali kuliah umum, Wahiduddin mengajak para peserta yang terdiri atas mahasiswa semester II, IV, VI, dan VIII FH UMSU, untuk memahami muatan-muatan yang terkandung dalam konstitusi beberapa negara. Berbicara konstitusi, Wahiduddin berujar, tidak terlepas dari pokok materi yang memuat latar belakang kesejarahan berdirinya suatu negara. Pada konstitusi tersebut, umumnya tercatat perjuangan suatu bangsa untuk memerdekakan diri dari penjajahan. Demikian juga dengan yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, pada Alinea 1 sampai Alinea 3 memuat perjuangan pergerakan rakyat hingga terlepas dari belenggu penjajahan.
Senada pula dengan Konstitusi Tiongkok yang juga memuat kesejarahan yang cukup panjang dalam bagian pembukaannya, mulai dari pengakuan masa feodal Tiongkok, perjuangan revolusi 1911 yang dipimpin oleh Sun Yat-sen, sampai pada penyatuan rakyat Tiongkok di bawah satu Partai Komunis yang dikomandoi Mao Zedong pada 1949. Begitu pula dengan Afrika Selatan, memuat pengakuan kesejarahan bangsanya atas pemberlakuan Politik Apartheid secara singkat guna merekonsiliasi dan menghilangkan rasa dendam masa lalunya yang kelam.
Berikutnya, kata Wahiduddin, muatan dari konstitusi yakni mengenai ketuhanan dan agama yang mengakui keterhubungan negara dengan nilai-nilai ketuhanan atau memuat karakter bernegara yang dianut negara yang bersangkutan. Untuk negara yang menjadikan agama sebagai landasan bernegaranya, pengakuan terhadap nilai-nilai ketuhanan tidak cukup melalui penggunaan bahasa yang normatif saja tetapi juga menggunakan bahasa yang spesifik. Hal ini dapat dilihat pada Konstitusi Iran, Irak, Bahrain, Afghanistan. Begitu pula dengan negara-negara yang mengakui kekuasaan trinitas dan negara-negara yang menganut sekularisme. Pada pembukaan konstitusinya juga menjadi ruang untuk pernyataan sikap moderat dengan mengakui nilai-nilai ketuhanan dan agama secara universal.
Selanjutnya muatan yang terdapat dalam konstitusi setiap negara yakni pencantuman ideologi negara yang unik dan khas. Sebagai contoh, Wahiduddin menyebutkan konstitusi Turki yang mengidentifikasi nilai-nilai moral ala Turki atau bagi Prancis yang menyatakan landasan bernegaranya yakni “on the common ideal of liberty, equality and fraternity”. Demikian pula dengan Indonesia, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 memuat jati diri bangsa dengan pernyataan susunan bernegara didasarkan kepada lima dasar negara yang disebut dengan “Pancasila”.
“Beragamnya konstitusi khususnya pada bagian batang tubuh, barulah kemudian di dalamnya dicantumkan jaminan atas hak asasi manusia atau dikenal juga dengan hak konstitusional. Hak-hak warga negara yang termuat dalam konstitusi itu datang dalam istilah beragam, ada yang menyebut sebagai hak asasi manusia atau hak konstitusional. Beda antara keduanya hanya dalam hal lingkup. Hak konstitusional hanya mencakup hak-hak warga negara yang diatur dalam konstitusi, karena terkadang ada konstitusi yang tidak memuat semua hak asasi manusia. Contohnya saja UUD 1945 sebelum perubahan. Bahwa hak warga negara yang diatur dalam UUD tidaklah mencakup semua hal yang didefinisikan sebagai hak asasi manusia,” kata Wahiduddin yang hadir dalam kegiatan ini dengan didampingi Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negari MK Fajar Laksono.
Keberadaan MK
Berikutnya, Wahiduddin menjelaskan mengenai keberadaan MK dalam rangka mengawal konstitusi, khususnya dalam pelaksanaan kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945. Diakui Wahiduddin, MK sering disebut sebagai lembaga super karena selain memiliki keleluasaan menafsirkan UUD, MK juga melalui putusannya dapat membatalkan sebuah undang-undang sebagai produk hukum yang dibuat secara bersama oleh DPR dan Pemerintah. Namun, anggapan MK merupakan lembaga super body ini menurutnya tidak tepat. Sebab, konstruksi kelembagaan negara menurut UUD 1945 bukan lagi bersifat hirarkis-struktural melainkan bersifat horizontal-fungsional. Artinya, lembaga-lembaga negara di Indonesia saat ini dalam posisi yang sederajat. Kendati MK terkadang membuat penafsiran UUD yang memaksanya menerobos dan/atau membatalkan undang-undang namun bukan berarti MK menjadi lembaga super body, tetapi MK berupaya menjalankan amanat UUD 1945 untuk menegakkan hukum dan keadilan.
“Oleh karenanya, MK memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada seluruh masyarakat agar dapat memanfaatkan secara optimal keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan RI. Bahwa ketika MK menyatakan suatu undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat atau batal, maka hal itu dilakukan bukan sebagai indikasi superioritas MK terhadap cabang kekuasaan legislatif, melainkan upaya lembaga untuk melaksanakan mandat yang diberikan konstitusi padanya untuk mengawasi dan mengukur konstitusionalitas tiap produk legislatif tersebut,” tegas Wahiduddin.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.