JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjadi pemateri Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan VI, pada Jumat (20/5/2022) sore. Kegiatan ini merupakan kerja sama Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC Peradi) Jakarta Barat dengan Universitas Bina Nusantara (Binus).
Manahan yang hadir secara daring menjelaskan sebelum adanya perubahan UUD 1945, dirancang lembaga yang membanding UU. “Pada permulaan sekali belum ada MK, terdapat perdebatan bahwa Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu,”ujar Manahan.
Namun, sambung Manahan, di era reformasi barulah disetujui adanya perubahan UUD 1945 tersebut. Perubahan UUD 1945 dilakukan sebanyak empat tahap. Tahap pertama dilakukan pada 1999, kedua pada 2000, ketiga pada 2001 dan tahap keempat pada 2002. “Tetapi dari perubahan yang dilakukan harus memegang prinsip yang mana Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah, kemudian kedua, Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dipertahankan, dan sistem presidensial diperkuat serta norma-norma yang ada di penjelasan UUD 1945 tersedia tersendiri dalam UUD,” jelas Manahan.
Lebih lanjut Manahan menerangkan, kewenangan dan kewajiban MK yang terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Kewenangan pertama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan kedua MK, kata Manahan, adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD. Kewenangan MK berikutnya adalah memutus pembubaran partai politik. Selain itu, MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK, ungkap Manahan, memutus pendapat DPR mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah melakukan pelanggaran hukum, melakukan perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. “Inilah yang sering disebut sebagai impeachment atau pemakzulan,” ucap Manahan.
Kemudian ada satu tambahan kewenangan MK yaitu memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Kewenangan tambahan ini bukan berasal dari konstitusi, tetapi dari UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Dalam UU Pilkada disebutkan, sebelum terbentuk peradilan khusus soal penanganan perkara perselisihan hasil pilkada, maka kewenangan itu diberikan kepada MK. Seluruh kewenangan MK tersebut sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam perkembangannya, sambung Manahan, MK juga berwenang menguji Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Manahan juga menjelaskan kewenangan MK berbeda dengan MA. Kewenangan MA memeriksa dan memutus di antaranya permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, dan menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Selain itu, Manahan juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK. Antara lain karena adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. Kerugian konstitusional Pemohon dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial berdasarkan penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Kemudian, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Adapun yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK, jelas Manahan, adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Manahan juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.