PADANG, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber Webinar Nasional Fakultas Hukum Universitas Pamulang dengan tema "Meneropong Demokrasi Indonesia Pasca 24 Tahun Reformasi" pada Jumat (20/5/2022) siang.
“Tanpa terasa sekarang tepat 24 tahun kita memasuki fase reformasi. Kalau kita diberi kesempatan menoleh ke belakang, mengapa reformasi muncul? Salah satu penyebabnya adalah kemacetan di suprastruktur politik kita ketika itu untuk merespons dan menjawab kebutuhan-kebutuhan ketatanegaraan kita, sehingga saluran yang mestinya disediakan oleh sistem itu sendiri, kemudian seolah-olah terhambat dan akhirnya demokrasi ekstra parlementer itu muncul dan memunculkan sebuah era yang disebut dengan era reformasi,” urai Saldi memulai paparan.
Seingat Saldi, 24 tahun lalu, ia masih menjadi dosen muda di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Tugasnya saat itu membantu para mahasiswa untuk bisa menyampaikan pemikiran-pemikiran mahasiswa tentang kondisi negara ketika itu, termasuk meneriakkan agar Presiden Soeharto lengser dari jabatannya.
“Saya juga termasuk sedikit dari dosen yang bersama mahasiswa menyampaikan aspirasi jalanan ketika itu, karena melihat memang tidak ada pilihan lain. Saluran-saluran formal seolah-olah tidak merespons apa yang terjadi di masyarakat kala itu,” jelas Saldi.
Perubahan UUD 1945
Seperti diketahui, ada banyak tuntutan reformasi. Di antara tuntutan-tuntutan itu, yang cukup relevan didiskusikan saat ini, salah satunya adalah perubahan UUD 1945 atau amendemen Konstitusi. Saldi memaparkan alasan kelompok reformis ketika itu menganggap bahwa UUD 1945 menjadi penting untuk memulai langkah awal melakukan reformasi.
“Kalau dibaca beberapa cuplikan pemikiran yang berkembang sekitar tahun itu, memang muncul satu ide besar yang mengatakan bahwa UUD 1945 telah memunculkan atau tidak dibuat desain yang memungkinkan terjadinya checks and balances dalam sistem ketatanegaraan kita,” ujar Saldi.
Dikatakan Saldi, ada banyak catatan mengenai kelemahan-kelemahan UUD 1945. Di antaranya, UUD 1945 terlalu lentur, terlalu fleksibel sehingga dengan mudahnya bisa ditafsirkan oleh pemegang kekuasaan sesuai dengan kemauannya sendiri. Contohnya, rezim orde lama memaknai demokrasi dalam UUD 1945 sebagai demokrasi terpimpin. Selanjutnya pada rezim orde baru, demokrasi dimaknai sebagai demokrasi Pancasila, memberi simbol Pancasila tapi pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh mereka yang berkuasa.
“Oleh karena itu dianggap bahwa Konstitusi harus dipikirkan kembali, direformasi sehingga bisa menampung apabila ketatanegaraan dilaksanakan, maka bangunan yang ada di Konstitusi itu sendiri bisa menciptakan mekanisme checks and balances,” tegas Saldi.
Amanah Eksplisit Konstitusi
Beberapa kali Saldi pernah mengatakan bahwa UUD 1945 memang menyebut adanya kedaulatan rakyat, tetapi di dalamnya tidak eksplisit menyebut soal pemilu. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan tidak ditemukan satu kata pun disebutkan mengenai pemilu secara eksplisit. Kalaupun ada pemilu, Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, Pemilu 1997, sebagai pemilu yang sebetulnya tidak muncul dari amanah eksplisit Konstitusi. Namun muncul dari undang-undang yang kemudian sudah didesain sedemikian rupa agar lembaga yang terbentuk dari hasil pemilu gampang dikooptasi.
“Kita bisa baca misalnya, ide soal ada DPR yang anggotanya dipilih melalui pemilu, lalu ada yang diangkat sekian jumlah kursi, itu ada dalam undang-undang. Lalu kemudian, MPR sebagai lembaga negara tertinggi saat itu, anggotanya terdiri dari anggota DPR dengan jumlah yang sama, ada yang diangkat kemudian. Sehingga kalau kita lakukan secara matematis, ketika itu mayoritas anggota MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden, itu adalah tidak dipilih melalui pemilu,” papar Saldi.
Itulah sekarang dalam UUD 1945 hasil perubahan, ungkap Saldi, disebutkan mengenai pemilu secara eksplisit, siapa yang akan dipilih, bagaimana cara memilihnya. Itu adalah salah satu substansinya, karena sulit bicara negara demokratis kalau kemudian pemilu tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pengaturan Konstitusi.
Penataan Sangat Mendasar
Persoalan berikutnya, sambung Saldi, kekuasaan Presiden Indonesia sangat dominan di masa lalu, baik masa orde lama dan orde baru di bawah UUD yang sama. Lalu kemudian ada usulan untuk memperkuat DPR, hingga terjadilah reformasi Konstitusi secara mendasar dan mengubah banyak hal.
“Apa yang diubah? Struktur lembaga legislatif diubah dalam UUD 1945 hasil perubahan. Tidak ada lagi lembaga negara tertinggi. Kekuasaan yudikatif juga diperbaiki, dulu hanya ada Mahkamah Agung, sekarang ada Mahkamah Konstitusi. Jadi, UUD 1945 hasil perubahan penataan yang sangat mendasar terhadap struktur ketatanegaraan. Itu salah satunya saja dari beberapa tuntutan reformasi,” ucap Saldi.
Sekarang apa yang bisa diberikan catatan terhadap reformasi? Saldi mengatakan, setelah reformasi berjalan 24 tahun, ada yang sudah dipenuhi dari tuntutan reformasi, ada yang kemudian mengalami penurunan.
“Yang kita rasakan betul adalah, kita masih belum keluar dari periode transisi dari rezim otoritarian kepada rezim reformasi. Apa buktinya? Kita selalu berpindah-pindah model, dan model-model yang kita pindahkan kemudian dipertanyakan ulang, ini cocok atau tidak? Seharusnya menurut saya, 24 tahun sudah cukup untuk mengakhiri masa transisi. Kita sudah bisa menggunakan model yang bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Tapi sampai sekarang masih menjadi perdebatan, diskusi dan segala macam. Baik pemilu, sistem penegakan hukum, hubungan pusat dan daerah,” tandas Saldi.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.