DENPASAR, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi pembicara pada kuliah umum bertema “Problematika Penunjukan Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024”, Jumat (20/5/2022) di Universitas Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Kegiatan yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai ini dilaksanakan dengan tujuan memberikan pemahaman mengenai Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024, membahas problematika penunjukan kepala daerah dalam pemilihan tersebut dan memberikan penjelasan pada masyarakat terkait problematika penunjukan kepala daerah dalam Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024 mendatang.
Dalam kuliah umum yang dihadiri sejumlah 50 peserta luring dan 500 peserta daring ini, Enny mengajak para peserta untuk memahami konsep kepala daerah dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dilihat dari kilas balik pemilihan kepala daerah, dari masa Orde Lama dan Orde Baru konsep pemilihan kepala daerah cenderung pada sistem pengangkatan. Bedanya, sambungnya, pada masa Orde Baru, DPRD hanya menentukan kandidat kepala daerah dari fraksi-fraksi yang ada, sedangkan defenitif pengangkatan kepala daerah tersebut diserahkan pada pemerintah pusat secara berjenjang.
Sementara pada jelang reformasi, dengan adanya tuntutan luar biasa dari seluruh komponen masyarakat untuk menguatkan demokratisasi dan otonomi daerah. Hingga akhirnya pada tahap awal lahir Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian, sambungnya, pemilihan dan pengangkatan sepenuhnya kepala daerah diputuskan oleh DPRD pada daerah masing-masing. Akan tetapi, kenyataan pada masa itu yang diangkat menjadi kepala daerah adalah subordinat dari DPRD setempat.
“Seiring bergulirnya pendewasaan politik di Indonesia, lahirnya norma yang kemudian diundangkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang pada intinya melahirkan sistem pemilihan langsung untuk kepala daerah oleh pemilih yang memiliki hak pilih. Kendati demikian, pada masa ini banyak persoalan yang muncul di antaranya maraknya money politic, biaya politik yang besar, dan banyak sekali warna pada politik Indonesia,” jelas Enny dalam kegiatan yang turut dihadiri oleh Ni Putu Tirka Widanti selaku Rektor Universitas Ngurah Rai, dan I Wayan Putu Sucana Aryana selaku Dekan FH Ngurah Rai.
Mengenai rancang bangun sistem pemilihan kepala daerah, Enny menyampaikan MK dalam Putusan 67/PUU-XIX/2021 telah memutus terkait hal terpenting atas batasan-batasan dalam pengisian penjabat kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Namun demikian, ia menekankan hal terpenting dari putusan tersebut lebih pada upaya membangun sistem kontestasi dan partisipasi dari pemilihan kepala daerah tersebut. “Bagaimana indikator yang dilekatkan dalam sistem pilkada bisa diaktualisasikan dengan menguatkan sistem penyelenggara yang independen serta tata cara pemilihan yang baik sehingga kompetisinya menjadi sehat,” jelas Enny.
Sehubungan dengan keinginan besar untuk menggiring mekanisme pemilihan dalam keserentakan ini, sejatinya bagi politik hukum telah pernah muncul gagasan untuk membangun keserentakan yang dimulai sejak UU Nomor 1 Tahun 2015. Akan tetapi, bangunan yang didesain pada UU tersebut membutuhkan rentang kendali yang panjang hingga muncul rencana pada 2027 mendatang. Sehubungan dengan keserentakan ini telah dinyatakan konstitusional oleh MK. Di samping itu, pada risalah perundang-undangannya disebutkan pula jika pilkada telah masuk dalam rezim pemilihan umum dan bukan lagi menjadi urusan pemerintah daerah.
Dalam kesempatan tersebut, sebagai bagian dari pengembangan kerja sama dengan perguruan tinggi, Mahkamah Konstitusi menandatangani nota kesepahaman dengan Universitas Ngurah Rai.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.