JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), pada Kamis (19/5/2022). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 55/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Perkumpulan Maha Bidik Indonesia.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut, Faturohman selaku Biro Hukum Perkumpulan Maha Bidik mengatakan ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada khususnya pada frasa “dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon”, sepanjang ditafsirkan atau dimaknai/diartikan tidak berlaku atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir di tahun 2022 dan tahun 2023 mengingat Pilkada baru akan diadakan pada tahun 2024. “Sehingga unsur jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Faturohman.
Faturohman menjelaskan, masa Jabatan Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten akan berakhir pada bulan Mei 2022, atau sekitar 6 (enam) minggu dari sekarang. Akan tetapi, Pemerintah Provinsi Banten saat ini akan melakukan “rotasi dan mutasi” para Pejabat Eselon II karena telah memperoleh rekomendasi dari KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) berdasarkan Surat Nomor B-959/JP.00.01/03/2022.
“Seharusnya ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada pada frasa dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon, dimaknai dengan ‘kondisi demisioner’ Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga sudah seharusnya tidak melakukan rotasi dan/atau mutasi para pejabat di lingkungan Pemerintahan Daerah-nya,” jelas Faturohman secara daring.
Pemohon beranggapan jika ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada khususnya pada frasa “dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon”, ditafsirkan atau dimaknai/diartikan tidak berlaku atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023, mengingat Pilkada baru akan diadakan pada 2024. Sehingga unsur jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon, tidak terpenuhi maka telah menimbulkan adanya perbedaan kedudukan antara warga negara di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 serta telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, lanjut Faturohman, kepala daerah baik tingkat I maupun tingkat II yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023, bisa melakukan rotasi atau mutasi ASN sebagaimana terjadi di Provinsi Banten berpotensi akan diikuti oleh daerah Tingkat I atau Tingkat II lainnya. Padahal, rotasi atau mutasi ASN yang dilakukan saat menjelang akhir masa jabatan Kepala Daerah patut diduga mempunyai agenda untuk menempatkan para ASN yang diduga mempunyai kedekatan khusus dengan Kepala Daerah yang akan masa habis jabatannya tersebut guna mempersiapkan Kepala Daerah tersebut yang akan mencalonkan kembali pada Pilkada serentak pada Tahun 2024, terkecuali jika memang rotasi atau mutasi itu penting karena kebutuhan mengingat pejabatnya meninggal dunia, pensiun atau pindah tugas. Sehingga unsur jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan norma a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang frasa yang dipersoalkan ditafsirkan tidak berlaku bagi kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan perkumpulan ini disahkan akta pendirian pengurus yakni 2019-2021 dan periode berlakunya selama dua tahun. “Jadi sejak 2019 yang mestinya 2021 sudah ada pengantian kepengurusan. Ini sudah lampau. Coba nanti dilihat lagi dokumen apakah ada dokumen baru atau tidak mengenai kepengurusannya,” ujar Wahiduddin.
Lebih lanjut Wahiduddin juga menyarankan pemohon untuk memperbaiki argumentasi pemohon dengan mengkonstruksikan kembali dengan apa yang diuraikan dalam posita dan petitum. “Jangan sampai di posita nalar dan petitum didasarkan pada posita itu, sehinggga menjadi sia-sia,” ujar Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan pemohon untuk menarasikan pemberian kuasa sifatnya permanen, maka format harus diperbaiki. “Jadi nanti yang hadir Pak Faturohman dan satu lagi yang tidak hadir pada hari ini. Tetapi jika akan hadir prinsipalnya itu juga tidak dilarang. Namun hanya hadir tidak memiliki hak bicara. Kalau sudah memberi kuasa hak yang bicara adalah kuasa hukum kecuali pendampingan,” jelas Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo juga meminta pemohon untuk menjelaskan kedudukan hokum mengenai keterkaitan organisasi dengan kerugian konstitusional yang dialami. “Kalau tadi bapak menjelaskan ada tujuan umum dari organisasi adalah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk memperjuangkan Pasal 71 ayat (2) ini keterkaitannya dimana? Karena itulah yang nanti membuat MK akan melihat anggapan kerugian konstitusional yang didalilkan dengan berlakunya norma yang dilakukan pengujian,” terangnya.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim mengatakan bahwa Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan paling lambat diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada 2 Juni 2022. Namun apabila Pemohon ingin mencabut permohonan, maka Pemohon membuat surat pencabutan dan segera memasukkannya ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita