JAKARTA, HUMAS MKRI - Hak cipta pada prinsipnya tidak dapat dimiliki secara mutlak dan tanpa jangka waktu sehingga konsep kepemilikannya secara mutlak menjadi tidak relevan. Untuk mendapatkan ekonomi atas suatu ciptaan, Undang-Undang Hak Cipta telah mengatur jangka waktu dari pemanfaatan suatu ciptaan melalui hak ekonominya dengan berbagai cara. Dengan demikian hak memiliki tersebut dapat dialihkan melalui suatu perjanjian lisensi dan tidak dengan suatu perjanjian jual putus (sold flat) atau pengalihan tanpa batas waktu sehingga pengalihan hak ekonomi tidak menimbulkan hak milik secara mutlak.
Hal tersebut disampaikan oleh Marcellius Kirana H. Siahaan (Marcell Siahaan) secara daring dalam sidang keenam pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/5/2022). Sidang perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh PT Musica Studios. Sedangkan agenda sidang adalah mendengar keterangan Pihak Terkait yakni Puji Rahaesita, Slamet Adriyadie, Sugito, dan Richard Kyoto. Para Pihak Terkait memberikan kuasa kepada Marcell Siahaan dkk dari Tim Pembela Hak Cipta dan Pelaku Pertunjukan.
Lebih lanjut Marcell menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta yang menjadi objek permohonan ini merupakan ketentuan-ketentuan yang konstitusional. Sebab norma tersebut bertujuan memberikan perlindungan yang layak bagi hak pencipta dan pelaku pertunjukan. Dengan arti kata, jelas Marcell, produser fonogram dapat memperoleh hak ekonomi dari pencipta melalui perjanjian jual putus atau sold flat tanpa batas waktu sebelum berlakunya UU a quo dengan mengeksploitasi hak ekonomi selama 25 tahun atau setengah dari masa 50 tahun bagi hak ekonomi produser fonogram sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta. Sementara untuk sisa dari masa perlindungan tersebut harusnya hak ekonomi yang telah diperoleh oleh produser fonogram itu dikembalikan kepada pencipta dan pelaku pertunjukan dengan meminta izin kepada pencipta dan pelaku pertunjukan apabila hendak melanjutkan eksploitasi atas ciptaan-ciptaannya sehingga pencipta dan pelaku pertunjukan dapat memiliki posisi tawar yang seimbang untuk memperoleh penghargaan yang lebih layak.
“Dengan demikian Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta telah menciptakan kepastian, kesetaraan kedudukan pencipta, pelaku pertunjukan, dan para produser fonogram,” jelas Marcell dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dari Ruang Sidang Pleno MK.
Mencakup Ciptaan Karya Tulis
Marcell juga menyebutkan ketentuan Pasal 18 dan Pasal 122 UU Hak Cipta tidak hanya mengatur mengenai lagu dan musik, namun juga mencakup ciptaan buku dan semua hasil karya tulis lainnya. Para Pihak Terkait melihat, Pemohon dalam perkara ini hanya mendalilkan terkait konteks ciptaan lagu dan musik tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi ciptaan buku atau karya tulis lainnya. Dengan tidak mempertimbangkan perlindungan yang berlaku bagi ciptaan buku dan karya tulis lainnya ini, menurut para Pihak Terkait, Pemohon menilai norma a quo secara parsial dan tidak lengkap.
“Sehingga adalah tidak adil apabila permohonan a quo yang hanya mengulas keberlakuan Pasal 18 dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta terhadap ciptaan lagu dan/atau musik kemudian dikabulkan dan putusannya berlaku juga bagi ciptaan buku dan/atau karya tulis lainnya,” papar Marcell.
Sebelum mengakhiri persidangan hari ini, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang berikutnya akan digepar pada Selasa, 14 Juni 2022 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari 2 ahli dan 1 saksi dari Pemohon.
Baca juga:
PT Musica Studios Persoalkan Ketentuan Batas Waktu Hak Milik dalam UU Hak Cipta
PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta
DPR: Pencipta Seharusnya Mendapatkan Banyak Keuntungan Ekonomi
Piyu PADI Anggap Aturan Jangka Waktu Batas Hak Cipta Lindungi Pencipta Lagu
Hak Cipta di Mata Para Musisi
Sebagai informasi, permohonan Nomor 63/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Hak Cipta dimohonkan oleh PT Musica Studios. Pemohon mengujikan Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 18 UU Hak Cipta menyatakan, “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Kemudian Pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan, “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”
Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus. Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan kehilangan hak ekonomi atas berlakunya ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta. Dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, Pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut. Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.