JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Selasa (17/5/2022) di Ruang Sidang Panel MK. Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang terdiri atas Aa Lanyalla M. Mattalitti, Nono Sampono, Mahyudin, Sultan Baktiar Najamudin yang merupakan pimpinan DPD RI (Pemohon I) dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Umum dan Afriansyah Noor selaku Sekretaris Jenderal PBB (Pemohon II) menjadi Pemohon dalam Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu.
Pada sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan, Muhammad Raziv Barokah selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan penyempurnaan yang dilakukan, di antaranya menambahkan kewenangan pimpinan DPD RI dengan menyertakan ketentuan dalam UU MD3 yang menyatakan tentang hal tersebut. Berikutnya. Pemohon juga telah menambahkan keterangan terkait kewenangan pimpinan PBB beserta AD/ART untuk memperkuat kedudukan hukum Pemohon II.
“Selanjutnya para Pemohon menambahkan alasan permohonan tentang kerugian konstitusionalnya dan melakukan elaborasi agar tidak nebis en idem dengan permohonan-permohonan sebelumnya yang telah diajukan ke MK,” sebut Raziv di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Wakil Ketua MK Aswanto serta Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Baca juga: Pimpinan DPD dan Partai Bulan Bintang Uji Ketentuan Ambang Batas Capres
Sebagaimana diketahui, permohonan atas uji ketentuan presidential threshold telah berkali-kali diajukan dan dinyatakan ditolak atau tidak diterima oleh MK, namun pihaknya berkeyakinan permohonan ini memiliki alasan berbeda dari permohonan sebelumnya. Denny menyebutkan Pemohon I sebagai lembaga negara yang memiliki tugas dan tanggung jawab melindungi kepentingan daerah dan para anggotanya menilai pasal a quo yang mengatur ketentuan presidential threshold 20% kursi DPR RI atau 25% suara sah nasional, telah menghalangi hak serta kewajiban Pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan putra putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden. Kehadiran ketentuan ini, sambungnya, hanya memberikan akses khusus kepada elite politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang kematangan kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu.
Sementara itu terkait dengan Pemohon II yang merupakan peserta Pemilu 2019 lalu menilai, keberlakukan Pasal 222 UU Pemilu menghilangkan probabilitas partai politik. Untuk itu, dalam petitumnya para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana