JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek dan IG) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/5/2022).
Diwakili kuasa hukum Fransiscus Arian Sinaga dan Leonardo Siahaan, Pemohon menjelaskan kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengenai surat kuasa Pemohon kepada tim kuasa hukum Pemohon. Setelah dilakukan pengecekan oleh Panel Hakim MK, ternyata surat kuasa Pemohon belum ditanda tangani dan tidak dicantumkan materai.
“Berkaitan dengan perbaikan permohonan yang sudah Saudara lakukan, soal surat kuasa nanti akan kami pertimbangkan. Sekarang silakan Saudara sampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan,” kata Enny.
Fransiscus Arian Sinaga menguraikan penegasan pada bagian Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum secara umum. Selanjutnya, Leonardo Siahaan menerangkan perbaikan permohonan mengenai alasan permohonan.
“Ada perbedaan penafsiran antara putusan satu dengan putusan lainnya yang menjadi permasalahan serius terkait masalah Pasal 21 ayat (1) UU No. 20/2016. Kemudian kami menambahkan kembali dari permasalahan tersebut yang menimbulkan implementasi yang tidak jelas dari isi Pasal 21 ayat (1) tersebut yang kami anggap ambigu,” ujar Leonardo.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Aturan Peniruan Merek
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Djunatan Prambudi seorang wiraswastawan. Pemohon mengalami kerugian konstitusi akibat berlakunya Pasal 21 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU Merek dan IG. Menurut Pemohon, Penjelasan tersebut justru terkesan menimbulkan kebingungan seperti apa kriteria dalam penilaian yang jelas terhadap ‘menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persaman bunyi ucapan’.
Pemohon mendalilkan hal tersebut menimbulkan kerentanan berbagai pihak mengajukan gugatan pembatalan merek apabila adanya persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dimiliki merek orang lain atau justru lebih parah adanya pihak yang dirugikan akibat peniruan dalam penamaan merek, kemudian menggugat namun gugatan tersebut ditolak oleh hakim, sehingga menimbulkan kerentanan dalam persaingan usaha yang tidak sehat. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Tak hanya itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina