PURWOKERTO, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan kuliah umum bertema “Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” pada Studium Generale Fakultas Hukum Universitas Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (13/5/2022) di Aula J3 FH Unsoed. Kegiatan ini digelar dalam rangka Dies Natalis Fakultas Hukum Unsoed ke-41.
Dalam kegiatan ini juga dilakukan penandatanganan kerja sama antara MK dengan FH Unsoed. Disaksikan oleh Ketua MK, penandatanganan kerja sama dilakukan oleh Kepala Biro Humas dan Protokol MK Heru Setiawan dengan Dekan FH Unsoed Muhammad Fauzan.
Ketua MK dalam kuliah umum mengatakan sejarah pemikiran lahirnya MK kerap dikaitkan dengan kasus Marbury versus Madison di Amerika Serikat yang terjadi pada 1803. Sejalan dengan itu, dibentuknya MK pada perubahan UUD 1945 pada 1999–2002, juga ditujukan untuk mengawal terjaminnya hak konstitusional warga negara.
“Dalam konteks ini, MK bertugas untuk mengawal agar jaminan hak konstitusional warga negara dapat dijamin pelaksanaannya melalui pembentukan UU sebagaimana digariskan dalam UUD 1945,” kata Anwar.
Menurut Anwar, UU merupakan produk politik yang dibentuk oleh dua lembaga negara, yakni legislatif dan eksekutif. Kedua lembaga negara ini mendapatkan legitimasi kekuasaannya melalui konsep demokrasi dengan mekanisme yang kita kenal sebagai pemilu. Produk pemilu tentulah menghasilkan suara mayoritas yang pada akhirnya berujung kepada kekuasaan untuk dapat duduk secara mayoritas pula, baik itu di parlemen, maupun kedudukan tertinggi di eksekutif, yakni sebagai Presiden.
Anwar menyebut Pasal 24 UUD 1945 sebagai landasan hukum terbentuknya MA dan MK sebagai pelaku kekuasaan hukum di Indonesia. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, terang Anwar, MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain MA. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, MK adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
“Eksistensi MK dapat dilihat pada UU Nomor 24C ayat (2) Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” tegas Anwar.
Lebih lanjut Anwar memaparkan mengenai wewenang MK yang disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Selain itu MK memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu,” jelas Anwar.
Sedangkan kewajiban MK, seperti disebutkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan ayat (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban MK adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Selain memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, ujar Anwar, MK memiliki kewenangan tambahan yaitu menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Kemudian ada juga wewenang tambahan MK sesuai Pasal 157 (3) UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, yaitu menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.