JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (12/5/2022) secara daring. Sebanyak dua perkara digabung pemeriksaannya dalam persidangan kali ini yakni Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Nomor 34/PUU-XX/2022.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, M. Fadhil Hasan yang merupakan Mantan Staf Ahli Wakil Presiden yang juga merupakan Ekonom memberikan keterangan saksi untuk perkara Nomor 34/PUU-XX/2022. Ia menjelaskan pada 9 Desember 2021 ia diundang menjadi narsumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja Ibu Kota Nusantara Dewan Perwakilan Rakyat (Panja IKN DPR).
“Bersama dengan narasumber lainnya kami menyampaikan pandangan dan pendapat tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN tersebut. Dan kami menyampaikan pendapat dan pandangan kami, saya terutama menyatakan bahwa pemindahan IKN tidak visibel, tidak urgen dan governance dan kemudian menyampaikan alasan-alasan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif,” ujar Fadhil yang hadir secara daring.
Menurut Fadhil, pemindahan tersebut tidak visibel karena kapasitas vistal yang dihadapi oleh pemerintah tersebut sangat terbatas dan pada saat itu dihadapkan pada kasus penanganan pandemi covid-19 yang masih cukup sangat tinggi dan memerlukan bantuan sosial untuk masyarakat. Disisi lain, sambungnya, penerimaan pemerintah dari perpajakan mengalami penerimaan dan pengeluaran bertambah besar dan kemudian dibiayai oleh hutang. “Itu yang kami nyatakan sehingga dari sisi kapasitas keuangan negara itu tidak memungkinkan saat ini untuk membangun sebuah project besar dalam skala besar seperti IKN tersebut,” terangnya.
Dampak Pembangunan IKN
Fadhil menilai, argumen yang disampaikan oleh pemerintah bahwa pembangunan IKN akan memeratakan pertumbuhan ekonomi dan akan membawa pengulangan beban dari Ibu kota Jakarta serta akan menjadikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi masih bisa diperdebatkan.
“Kami kemudian mengutip hasil studi yang kami lakukan yang menggunakan suatu metode yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah bahwa tidak ada bukti dan fakta yang kuat berdasarkan simulasi yang kuat pembangunan Ibu kota baru itu akan membawa kepada pemerataan dan akan mendorong pertumbuhan ekonomi baru seperti itu,” tegas Fadhil.
Lebih lanjut Fadhil menegaskan, proses pembangunan IKN tidak mengikuti tata kelola yang baik. “Misalnya saja dilihat dari pembahasan RUU IKN dengan DPR itu dilakukan setelah keputusan pemindahan IKN itu dilakukan. Bahkan kemudian Ketua Bappenas itu telah melakukan soft launching bikin peletakan batu pertama pada titik nol pembangunan IKN jauh hari sebelum dilakukan pembahasan RUU IKN tersebut. Kemudian, waktu itu kami juga menyampaikan bahwa sebelum dilakukan pembahasan dengan DPR wacana tentang pemindahan IKN ini tidak banyak dilakukan dengan partisipasi publik yang cukup luas. Jadi sangat teknokratis bahkan banyak kalangan tidak mengetahui isi daripada rencana tersebut termasuk naskah akademik itu sendiri,” urainya secara tegas.
Dikatakan Fadhil, dampak ekonomi dan lingkungan pemindahan IKN sebagai bentuk pemerataan pembangunan atau mendorong pembangunan pemerataan pembangunan antara wilayah dan antara provinsi sangat kecil terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah tersebut. Ia juga menegaskan, berdasarkan kajian yang dikutip dari sebuah NGO atau LSM, dampak lingkungan pemindahan IKN belum dilakukan secara mendalam dan justru diperkirakan akan membawa kepada perusakan lingkungan yang ada.
Fadhil juga menceritakan bahwa setelah para narsumber menyampaikan pandangan tersebut beserta narasumber lainnya pada RDPU tersebut terdapat beberapa tanggapan dari anggota DPR yang kemudian direspons oleh beberapa narsumber. Akan tetapi, pimpinan rapat memutuskan untuk melakukan skorsing dan akan dilanjutkan sekitar jam 7 malam. Namun setelah ia mengontak salah satu panitia kerja ternyata RDPU telah selesai.
“Jadi saya berasumsi bahwa akan ada lanjutan RDP tersebut yang kemudian akan memberikan kesepatan kepada saya untuk memberikan respons terhadap komentar pertanyaan ataupun tanggapan dari anggota Panja IKN DPR tersebut, tetapi setelah jam 7 itu memasuki zoom meeting yang tadi disediakan tidak berhasil sampai kira-kira 30 hingga 40 menit berusaha masuk dan menunggu tetapi tidak berhasil. Kemudian saya mengontak salah satu panitia disampaikan bahwa sidang RDP telah selesai. Jadi tidak dilanjutkan. Itu yang saya alami ketika menjadi narasumber dalam RDPU Panja yang diselenggarakan pada 9 Desember 2021,” terang Fadhil saat memberikan keterangan saksi.
Sebagaimana diketahui, permohonan pengujian UU IKN Nomor 25/PUU-XX/2022 diajukan oleh Abdullah Hehamahua (Pemohon I), Marwan Batubara (Pemohon II), Muhyidin Junaidi (Pemohon III), Letjen TNI (Purn) Suharto (Pemohon IV), Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD (Pemohon V), Taufik Bahaudin (Pemohon VI), Syamsul Balda (Pemohon VII), Habib Muhsin Al Attas (Pemohon VIII), Agus Muhammad Maksun (Pemohon IX), M. Mursalim R (Pemohon X), Irwansyah (Pemohon XI), Agung Mozin (Pemohon XII). Para Pemohon tidak dapat memberikan pendapat, masukan, saran dan kritik dalam pembentukan UU a quo, dengan proses pembentukan UU IKN yang hanya memerlukan waktu 42 (empat puluh dua) hari dan terlihat terburu-buru, sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di lapangan.
Sedangkan para permohonan Nomor 34/PUU-XX/2022 diajukan oleh 21 orang Pemohon yang merupakan gabungan dari berbagai profesi, mulai dari para akademisi, pegawai swasta, wiraswastawan, wartawan. Para Pemohon, di antaranya Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Didin S. Damanhuri, menganggap hak konstitusional mereka dirugikan oleh pembentukan UU IKN.
Para Pemohon melalui kuasa hukum Ibnu Sina Chandranegara menyatakan proses pembentukan UU IKN dilakukan hanya dengan mendengar masukan dari berbagai narasumber, namun tidak ada pertimbangan dan penjelasan atas berbagai pertimbangan yang sangat merepresentasikan pandangan para Pemohon, sehingga mengakibatkan hak para Pemohon memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya menjadi dirugikan dan mengakibatkan tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terkait pengujian materiil UU IKN, para Pemohon merasa dirugikan dengan lahirnya Pasal 1 ayat (2) dan ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU IKN. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Karena tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Mengenai alasan pengujian formil, para Pemohon berdalil bahwa Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Apabila pembentukan peraturan perundang-undangan justru menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk memperdebatkan dan mendiskusikan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan melanggar kedaulatan rakyat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F