JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pada Rabu (11/5/2022). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 41/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Sindi Enjelita Sitorus sebagai Pemohon I dan Hesti Br Ginting sebagai Pemohon II. Kedua berprofesi sebagai mahasiswa.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan, Leonardo Siahaan mengatakan telah melakukan perbaikan meski terdapat kekeliruan dalam memperbaiki surat kuasa. “Untuk masalah hal lainnya yang sudah diperbaiki terkait masalah lain kekeliruan saya dalam memperbaiki surat kuasa selain itu saya juga memperbaiki yag lainnya seperti masalah mencantumkan apakah dalam kekerasan psikis ini dimasukkan juga ke dalam permasalahan UU TPKS yang baru disahkan,” ujar Leonardo.
Kemudian, sambung Leonardo, pihaknya menambahkan bukti lainnya berupa putusan pengadilan. “Untuk putusan pengadilan sudah saya lampirkan dalam bukti P-5 yaitu terkait kekerasan psikis,” terangnya secara daring. Selain itu, perbaikan juga dilakukan pada bagian petitum.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Bentuk Kekerasan Psikis Dalam UU KDRT
Pada sidang pendahuluan, para Pemohon mendalilkan Pasal 7 UU PDKRT tidak memberikan ketentuan yang jelas seperti apa bentuk kekerasan psikis yang dimaksud sehingga dapat menjadi suatu penafsiran yang akan menimbulkan perdebatan. Selain itu, hal ini akan menimbulkan kerugian secara konstitusi yang akan dialami oleh para Pemohon. Lebih lanjut, Pemohon beralasan UU KDRT tidak mempunyai tolak ukur yang jelas seperti apa kekerasan psikis termasuk bentuk-bentuk kekerasan psikis ini mengakibatkan posisi perempuan yang rentan untuk digugat dan kriminalisasi terhadap perempuan untuk menjadi pelaku dalam konteks kekerasan psikis. Ketidakjelasan inilah yang menimbulkan kekhawatiran para Pemohon apabila nantinya memiliki kasus yang sama seperti dalam kasus contoh diatas, Valencya melakukannya bukan sebagai bentuk kesengajaan melainkan hanya spontanitas dan tidak bermaksud untuk menyerang psikis korban.
Sedangkan dalam kasus kekerasan psikis sesungguhnya kata-kata yang merendahkan martabat dan menghina berdampak serius apabila dilakukan secara terus menerus. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 7 UU PDKRT bertentangan dengan UUD 1945 dan conditionally constitutional sepanjang ditambahkan frasa “bentuk-bentuk kekerasan psikis: ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan, penghinaan, pelabelan negative, atau sikap dan gaya tubuh merendahkan disertai adanya keterangan mengenai kondisi psikologis seseorang korban kekerasan psikis”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.