JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (11/5/2022). Permohonan perkara Nomor 53/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Anah Mardianah yang berprofesi sebagai guru.
Agenda sidang siang ini yaitu pemeriksaan pemeriksaan perbaikan permohonan. Namun demikian, kuasa hukum Pemohon menegaskan tidak ada perbaikan pada alas an permohonan.
Pemohon diwakili tim kuasa hukumnya, Naufal Rizky Ramadhan dkk. kembali menegaskan permohonan dengan memaparkan alasan-alasan permohonan dan kerugian konstitusional Pemohon. Salah satu alasan permohonan Pemohon yaitu UU IKN tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan, baik secara formil maupun materiil.
Parsial dan Tidak Holistik
Menurut Pemohon, representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama ibukota negara Republik Indonesia yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainya dalam pembahasannya.
“Dengan demikian, tidak ada perbaikan pada alasan-alasan permohonan,” tegas Naufal kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Baca juga
Seorang Guru Menguji Konstitusional UU IKN
Untuk diketahui, permohonan Nomor 53/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU IKN diajukan oleh Anah Mardianah yang berprofesi sebagai guru. Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan di MK pada Senin (25/4/2022), Pemohon melalui kuasa hukumnya, Reza Setiawan mengatakan tujuan dan proses dari pembentukan suatu undang-undang harus dilaksanakan bersama-sama oleh DPR dan Presiden. Suatu undang-undang harus dibentuk untuk menjamin kepastian hukum, menjamin keadilan, dan menciptakan ketertiban serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia
“Maka, undang-undang harus memenuhi prosedur yang ketat, detail, dan terperinci. Jika tidak tercakupi, maka UU dapat dikatakan cacat formil. Maka sudah sepatutnya Mahkamah menyatakan UU a quo cacat formil dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata Reza.
Dalam permohonan Pemohon menyatakan pada 18 Januari 2022 lalu, DPR telah resmi menetapkan RUU IKN sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020. Sebelum UU tersebut disahkan, telah terdapat penolakan dari pemerintah provinsi dan daerah, namun penolakan demikian tidak didengarkan oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI. Selanjutnya pada 15 Februari 2022 Presiden pun mengesahkan UU IKN. Hal ini menurut Pemohon mengisyaratkan sejak awal masuk prolegnas hingga disahkan, pembentukan UU a quo hanya memakan waktu kurang dari satu bulan. Dengan demikian dapat diartikan UU IKN dibuat tidak melibatkan masyarakat. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan uji formil UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.