JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perdana pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Rabu (11/5/2022) dengan agenda Perbaikan Permohonan. Perkara Nomor 54/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh M. Busyro Muqoddas sebagai Pemohon I; Trisno Raharjo sebagai Pemohon II; Yati Dahlia sebagai Pemohon III; Dwi Putri Cahyawati sebagai Pemohon IV; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai Pemohon V; dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon VI.
Dalam persidangan kedua tersebut, Ikhwan Fahroji selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim. Perbaikan dilakukan pada kewenangan MK terkait penulisan peraturan perundang-undangan. “Pada khususnya Pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UU 1945,” ujar Ikhwan.
Selain itu, sambung Ikhwan, perbaikan juga terdapat pada kedudukan hukum Pemohon yang mana Pemohon I hingga pemohon IV merupakan perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan KTP dan juga sebagai pemegang hak pilih dalam pemilihan umum dan juga sebagai pembayar pajak yang dibuktikan dengan NPWP. Kemudian para Pemohon juga memperbaiki kerugian konstitusional dengan menguraikannya satu persatu secara lebih rinci.
Baca juga: Kurang Partisipasi Publik, UU IKN Kembali Diuji
Sebelumnya, Pada sidang pendahuluan, para Pemohon beralasan proses pembentukan UU IKN tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya (meaningfull participation) sebagaimana dimaksud pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Menurut Pemohon, UU IKN juga tidak melibatkan pihak yang memiliki concern secara luas. Menurutnya, Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon IV adalah bagian dari orang-orang yang memiliki pandangan dan perspektif luas dan strategis terkait dengan isu IKN, yang seharusnya dilibatkan dalam proses pembentukan UU IKN.
Selain itu, kelompok masyarakat adat di wilayah calon IKN yang terdampak langsung juga tidak dilibatkan. “Hasil identifikasi Masyarakat Adat di wilayah IKN dalam dokumen Naskah Akademik RUU IKN menyebutkan, setidaknya terdapat 7 suku asli di wilayah calon IKN dan selebihnya adalah masyarakat pendatang dari berbagai suku (Jawa, Bugis, Banjar, dll) di Indonesia, suku asli yang teridentifikasi tersebut, diantaranya: 1) Suku Paser, 2) Suku Kutai, 3) Suku Bajau, 4) Suku Dayak Basap, 5) Suku Dayak Kenyah, 6) Suku Dayak Benuaq, 7) Suku Dayak Tunjung. Lebih lanjut, merujuk pada dokumen Naskah Akademik, terdapat dua potensi dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah calon IKN, yaitu hilangnya mata pencaharian dan tempat tinggal,” jelasnya.
Para Pemohon dalam permohonannya juga menyebutkan bahwa pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Menurut para Pemohon, setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.